3. Home

20 2 0
                                    

kami sampai di rumahku, hujan sudah reda, menyisakan gerimis.

" Makasih ya Ar." Arvan hanya menganggukkan kepala.

" nanti aku salamin ke ayah." Aku keluar mobil. Melambaikan tangan saat mobil Arvan melaju meninggalkan rumahku. Aku segera masuk edalam sebelum bajuku tambah basah. Segera berlari menuju kamar. Berganti baju. Bersiap pergi ke rumah Jihan untuk belajar kelompok. Biasanya ayah belum pulang. Dia selalu pulang malam. Selesai bersiap-siap, aku segera turun.

" Malam ini kau tidak akan kemana-mana Fa." Suara itu terdengar ketika aku hendak keluar rumah. Itu bukan pertanyaa. Melainkan pernyataan yang tak boleh di bantah.

" Tapi kak. Aku ada janji sama temen buat kerja kelompok."

" Dan seharusnya kau tidak pulang jam segini. Kau tau peraturan ini."

" Tapi kak, kemarin 3 hari aku nggak pulang dan nggak keluar malam."

" alik ke kamar Sifa." Aku menghembuskan nafas, berjalan menuju kamar dengan malas. Malam ini aku harus berada di rumah. Tidak boleh kemana-mana.

" Jangan lupa turun saat makan malam." Ingat kakak sebebelum dia masuk ke kamarnya.

" Iya kak." Jawabku.

Aku masuk ke kamar, menghembuskan nafas. Membanting tubuhku di atas kasur. Ku buka ponselku untuk memberi pesan kepada Jihan.

­Nhara : Sorry Han. Aku nggak bisa. Kakak nggak bolehin.

Jihan : Nggak papa. Gue tahu kok. Di sini juga udah adaJihan sama Bagas.

Nhara : Sekali lagi sorry ya Han.

Jihan : udah santai aja. Ya udah. Gue mau lanjut belajar.

Ku lempar ponselku ke sembarang arah. Untung saja mendarat tepat di kasur. Aku berdiri menuju meja belajar. Membua buu tugas yang seharusnya ku kerjakan bersama. Besok kami bisa mendiskusikan di kelas.

Saat aku sedang asyik dengan tugasku, ponselku berbunyi. Aku menghembuskan nafas. Melirik jam di pergelangan tanganku. Jam makan malam. Jujur aku lebih suka di kamar dari pada harus bertatap muka dengan ayah atau kakak. Aku segera turun. Ku lihat ayah sudah duduk di tempatnya. Sementara kakak menyiapkan makan. Dulu aku pernah menawarkan bantuan ke kakak, tapi ayah tidak mengizinkan. Aku duduk di tempatku. Menunduk.

" Gimana sekolahnya?." Tanya ayah saat aku duduk di depanku.

" Baik yah." Jawabku.

" Tadi laki-laki yang mengantarmu pulang siapa?." Tanya kakak dingin ketia aku mengambil nasi. Begitupun ayah dan kakak.

" Temen kak." Jawabku.

" Bukan pacarmu?."

" Bukan."

" Dia anaknya atasan ayah Flora. Tadi ayah minta tolong sama dia." Jelas ayah ke kakak sambil tersenyum. Aku tersenyum getir. Segera menghabiskan makanku.

Obrolan di meja makan selanjutnya di kuasai oleh kakak dan ayah. Aku semakin cepat melahap makanku. Selesai dengan makanku, aku segera berdiri. Permisi ke mereka, lalu segera pergi ke kamar.

Kapan ayah terakhir tersenyum ke arah ku?. Bahkan aku lupa kapan pastinya. Ayah selalu menganggapku orang asing. Sementara kakak, selalu menganggapku sebagai sumber masalahnya. Semua ini bermula ketika bunda pergi meninggalkan ami untuk selamanya.

Setelh aku lahir, bunda mulai menderita banyak penyakit. Pertama adalah kanker rahim. Ayah yang selalu menginginkan anak laki-laki, harus kecewa. Setelah rahim bunda di angkat, penyakit kembali menghinggapi bunda. Akju tak ingat penyakit apa. Tapi, kakak pernah bilang bahwa setelah opersi pengangkatan rahim, bunda punya penyakit kanker paru-paru.

Penyakit inilah yang merenggut nyawa bunda. Aku baru berumur 13 tahun. Pada saat itu, hubunganku dengan ayah dan kakak mulai merenggang. Aku menghembuskan nafas, mulai mengerjakan tugas tadi agar fikiran ku teralihkan.

***

TWO COOL IN SCHOOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang