Rafa terpaksa meninggalkan adiknya yang masih menangis. Ia biarkan Abyra meluapkan semua kesedihannya. Ia jelas tahu betul bagaimana adik satu-satunya itu, Abyra adalah gadis yang begitu perasa dan mudah menangis, persis seperti Rara Ibunya.
Kini, Rafa langkahkan kakinya menuju Fadli dan Rara yang masih berdiri persis di depan pintu kamar.
"Ibun," lirih Rafa pilu. Mendengar itu, Rara terpaksa membenahi tampilannya yang terlihat begitu menyedihnya.
"Papa kenapa, Bun?" tanya Rafa pelan sambil terus berjalan mendekati Ibu dan Pamannya.
Semakin dekat langkahnya, semakin santer terdengar suara mesin itu. Suara patient monitor yang sudah cukup lama tidak ia dengar.
Persis di depan pintu kamar yang tidak di tutup rapat itu, Rafa sekilas bisa melihat sang ayah terbaring lemah, dengan matanya yang terpejam serta oxygen mask yang terpasang di wajah pucatnya.
"Pasti ini semua karena Abang." gumamnya dengan wajah frustasi. Ia jelas menghardik kebodohannya yang terlalu egois dan tidak memikirkan kondisi ayahnya.
"Enggak, sayang! Ini bukan salah kamu. Ini karena kondisi Papa lagi kurang baik." Rara segera meraih Rafa masuk dalam pelukannya. Mencoba memberikan pengertian pada anak sulungnya yang menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi.
"Tapi kalo aja Abang gak bikin ulah semalam, Papa pasti gak akan anfal kan, Bun? Ditambah perdebatan kami tadi. Abang emang bodoh! Abang terlalu egois! Abang--" Rara segera menghentikan ucapan anaknya dan mempererat pelukannya pada Rafa.
"Berhenti nyalahin diri kamu sendiri, sayang. Ibun udah tau semua yang terjadi sama kamu semalam. Abyra dan Uncle udah cerita sama Ibun. Maafin Ibun ya, maafin karena Ibun gak bisa urus kamu dengan baik sampe kamu bisa sakit--" ucapan Rara tertahan begitu merasakan Rafa yang berusaha melepas pelukannya.
Rafa berulang kali menggelengkan kepalanya kasar.
"Enggak Bun, ini bukan salah Ibun. Ibun udah lebih dari sempurna buat Rafa. Maafin Rafa, Bun. Maafin karena Abang udah sembunyiin semuanya dari Ibun. Tapi Abang mohon, jangan kasih tau apapun ke Papa soal ini." tangis Rafa pecah dan terdengar begitu memilukan. Bahkan Abyra dari kejauhan dapat dengan jelas mendengarnya.
"Maafin Abang, Bun." lirih Rafa disela isak tangisnya. Mendengar tangis itu, Rara kembali memeluk Rafa, dan tanpa terasa ia ikut menurunkan bulir bening yang sejak tadi ia biarkan bergumul di mata sembabnya.
Rintihan tertahan itu masih samar terdengar disela isak tangis Rafa. Rara dengan segera meminta Fadli untuk melihat wajah Rafa saat ini.
"Sakitnya terasa lagi, Bang?" pertanyaan Fadli membuat Rara melepas pelukannya dan memastikan sendiri kondisi anak sulungnya.
"E-enggak, Uncle." bohong Rafa, namun wajah pucatnya kini begitu terlihat jelas.
Fadli dengan sigap meraih tubuh Rafa dan membimbingnya untuk duduk di sofa dimana Abyra berada saat ini.
"Kita keluar aja ya, Uncle." pinta Rafa lirih. Begitu Rara mengikuti di belakang, Rafa dengan cepat meminta Rara untuk tetap menemani ayahnya.
"Ibun temenin Papa aja ya. Rafa cuma butuh sedikit udara segar, sekalian mau ngobrol sedikit sama Uncle Fadli. Gak apa-apa kan?" Rara terpaksa mengizinkan. Ia tidak ingin memaksakan Rafa untuk mengatakan seluruhnya pada Rara. Namun setidaknya ada Fadli yang bisa menampung semua keresahan anak lelakinya.
"Abang mau kemana lagi?" tanya Abyra begitu melihat Rafa dan Fadli menuju tangga.
"Abang keluar sebentar cari angin sama Uncle. Kamu disini aja ya temenin Ibun sama Onty Nia." pinta Rafa pada adik kesayangannya. Jika sudah ada kata 'cari angin' Abyra jelas paham maksudnya. Mau tidak mau ia harus menurut dan tidak mengikuti si Abang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abyrafa
Teen FictionJadikan reading list kalian ya 💕 Rafa tidak menyangka bahwa dirinya akan terjebak dalam hubungan cinta dengan adiknya sendiri, Abyra. Ya meskipun mereka berdua bukan saudara kandung, tapi tetap saja hubungan mereka pasti tidak akan disetujui oleh k...