7: Haruskah terjadi perpisahan?

1.7K 134 31
                                    

Wajah penuh tanda tanya itu tergambar jelas. Rafa tentu merasa bingung melihat di depan rumahnya terparkir beberapa mobil yang sebagian besar sangat tidak asing baginya. Salah satu mobil yang paling ia ingat adalah milik rekan kerja sang ayah yang sering berkunjung ke rumahnya.

Rasa penasaran sudah memenuhi benaknya. Rafa bergegas turun dari mobil pamannya tanpa permisi. Ia langkahkan kaki lemahnya mendekat ke gerbang rumah.

Matanya membulat sempurna begitu menemukan bendera kuning terpasang di salah satu sisi gerbang. Ia picingkan matanya untuk mempertegas pandangan mata minusnya.

Raflan Bastian Siregar
Bin
Benjamin Siregar

Apakah dirinya tidak salah? Ia kucek matanya beberapa kali sambil mendekatkan jaraknya dengan bendera itu.

Ia kembali membaca tulisan yang sama. Detik berikutnya, kakinya tiba-tiba terasa begitu lemas. Hingga ia jatuh berlutut. Matanya kini terasa begitu panas, seperti ada sesuatu yang memaksanya untuk mengeluarkan bulir bening dari mata sayunya.

"Ini pasti mimpi kan?"  ia tepuk kedua pipinya dengan tangannya yang mulai bergetar. Secara tiba-tiba semua memorinya bersama sang ayah terputar di kepalanya.

"Papaaaa.." panggilan gemas itu terdengar. Rafa kecil yang kini genap berusia sepuluh tahun melangkahkan kakinya menuju sang ayah yang menunggunya di ambang pintu rumah.

"Papa kenapa gak ikut Ibun jemput Abang di rumah sakit?" Rafa bertanya dalam pelukan papanya. Mendengar pertanyaan jagoan kecilnya, Raflan hanya bisa mengulas senyum getirnya.

Merasa tak mendengar jawaban sang ayah, Rafa lepas pelukannya dan menelusuri wajah Raflan sambil menyentuh kedua pipi Raflan yang penuh dengan thin beardnya.

"Papa sakit?" Raflan dengan cepat menggelengkan kepala begitu mendengar pertanyaan khawatir anak sulungnya.

"Papa tadi jagain Abyra di rumah. Kalo semuanya pergi, nanti Adek sama siapa?" tak lama, sapaan Abyra si mungil terdengar dan Rafa pun mendapatkan pelukan erat dari adik kesayangannya itu.

Melihat Abyra dan Rafa begitu hangat melepas rindu, Rara segera mendekati sang suami dan memintanya untuk kembali beristirahat.

"Gimana kata dokter, Ra?" Rara tentu tahu Raflan pasti akan menanyakan hal tersebut.

"Nanti aku jelasin ya. Kamu bandel banget sih! Kan udah aku bilang gak perlu turun ke bawah buat sambut Rafa." Rara tautkan tangannya di lengan Raflan berusaha menuntunnya menuju tangga.

"Tapi kan Rafa masuk rumah sakit juga karena aku yang ceroboh. Kalo aja--"

"Ssstttt! Udah ya gak perlu dibahas lagi. Si jagoan kan sekarang udah sehat, sekarang tinggal kamu yang fokus supaya cepet pulih." Rara ulas senyum manisnya pada suami tercintanya. Ia bimbing Raflan untuk pelan-pelan menaiki satu per satu anak tangga.

"Rafa beneran gak apa-apa kan?"

"Iya Mas, Abang udah sehat. Tuh kamu lihat dia udah bisa gendong si Adek, dan abis ini pasti dia bakal ajak kamu main bola lagi. Makannya kamu harus nurut apa yang Om Johan dan Kak Fadli bilang ya, jangan terus-terusan overthinking. Kamu gak ka--" Rara menghentikan ucapannya begitu Raflan berhenti melangkahkan kakinya.

"Mas, kamu gak apa-apa?" Raflan menggeleng cepat. Ia minta Rara untuk kembali melanjutkan langkah mereka.

Begitu selesai menaiki seluruh anak tangga, Raflan dan Rara disambut oleh Johan, "Udah ketemu jagoannya?" Baik Raflan maupun Rara tak menjawab, mereka berdua hanya fokus berjalan menuju kamar mereka.

AbyrafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang