14: Memori yang terlupakan

1.9K 99 45
                                    

Rafa terhanyut dalam lamunannya. Tubuhnya masih berada di ranjang setelah sang paman meminta Rafa untuk tetap berada di tempatnya selama dua jam kedepan.

Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal yang bahkan belum terjadi. Ia juga memikirkan banyak hal yang terjadi pada hidupnya selama ini.

Dan ada satu hal yang benar-benar mengganggu pikirannya.

"Benarkah sebesar itu rasa sayang Papa sama Abang?"

Ia berusaha mengingat semua memorinya, tapi sayang yang ia dapatkan hanya rasa sakit yang terasa di kepalanya.

"Kenapa Allah kasih semua ujian ini?"

Gumaman itu ternyata didengar oleh seseorang, dan detik berikutnya ia sadar bahwa pamannya tidak menutup rapat pintu kamarnya.

"Ibun," ia bergegas bangkit, namun dicegah oleh Rara.

"Kamu dihukum ya sama Uncle Fadli?" Rafa hanya bisa mengangguk ragu dan berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih terasa di kepalanya.

"Adek bilang kamu tadi kesini naik motor? Kalo masuk angin gimana?" Rafa mengukir senyumnya mendengar ucapan sang bunda.

"Kan deket Bun. Lagipula itu lebih baik dibanding Rafa lari-lari dari rumah Uncle kesini kan?"

"Iya juga sih. Tapi kan kamu gak biasa kena angin malam." Rara mengecek kondisi tubuh si sulung, meski Rafa sudah beranjak dewasa tapi baginya Rafa masih tetap jagoan kecilnya.

"Gak perlu Bun, Rafa gak apa-apa kok." Rafa tahu betul apa yang ingin bundanya lakukan begitu melihat minyak kayu putih yang ada di tangan Rara.

"Oh, jadi udah gak mau kalo Ibun perhatian sama Abang? Atau sekarang gak perlu Ibun karena udah punya Uncle Aksa dan Onty Syena?"

"Enggak gitu kok, Bun. Cuma kan Ibun gak seharusnya disini. Kondisi Papa masih belum stabil, ada baiknya Ibun harus terus ada di samping Papa." mendengar ucapan Rafa, Rara segera meraih tangan Rafa. Dingin.

Rara tak bersuara, hanya tangannya yang kini sibuk memberikan kehangatan pada jagoannya. Tak lama, ia bawa tangan Rafa menuju wajahnya dan,

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di punggung tangan Rafa.

"Tangan kamu udah gak lagi semungil dulu. Tapi meski begitu, bagi Ibun dan Papa kamu itu tetap jagoan kecil kami. Dan sebagai jagoan di rumah ini, boleh Ibun minta sesuatu sama Abang?"

Sesaat setelah kecupan itu ia dapatkan, Rafa kini hanya terpaku sambil memandang wajah sendu sang bunda.

"Apa, Bun?"

"Boleh gak Abang stay disini sampai kondisi Papa membaik? Karena mungkin ini kesempatan terakhir kita bareng Papa. Karena setelah ini Ibun gak tau Papa akan bertahan atau--" tangis itu pecah dan menghentikan ucapan Rara. Ia jelas tidak bisa membendung kesedihannya saat bayangan perpisahan itu muncul di pikirannya.

"Bun," Rafa akhirnya bangkit dan memeluk erat tubuh Rara yang kini menangis tersedu-sedu.

"Cuma kamu Bang harapan terakhir Ibun. Karena Ibun tahu betul kalau--"

"Iya Bun, Abang tau kok kalo Papa sayang sama Abang. Tapi apa benar sebesar itu rasa sayang Papa ke Abang?" pertanyaan itu membuat Rara menghentikan tangisnya dan melepas pelukan Rafa padanya.

"Jadi kamu ragu?"

"Bu-bukan gitu, Rafa cuma--"

"Kalo kamu ragu sama rasa sayang Ibun ke kamu, Ibun masih bisa terima karena Ibun sadar, Ibun cuma ibu sambung kamu. Tapi Papamu, bahkan dia rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan kamu, nak." Rafa jelas merasa bersalah sudah mengatakan hal itu, segera ia tutupi wajah kacaunya dan menahan isak tangisnya.

AbyrafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang