6: Sebuah mimpi terburuk

1.7K 116 19
                                    

Udara malam semakin terasa hingga menembus kulitnya. Bahkan jacket denim yang ia kenakan seolah tak membantunya menahan udara dingin disekitarnya. Ia rapatkan jaketnya sambil terus melanjutkan kegiatannya saat ini.

Rafa kini persis berada di depan rumah Aksa, pamannya. Ia terpaksa kembali ke rumah pamannya karena ia tentu tidak ingin membiarkan orang rumah melihat kondisi mirisnya saat ini.

"Uncle," panggilan lirih Rafa terdengar bersamaan dengan suara berisik dari gerbang rumah Aksa.

"Onty Syena," Rafa kini beralih memanggil nama tantenya, ia keraskan suaranya agar terdengar hingga ke kediaman mewah itu.

Rafa sudah berkali-kali menekan bel yang ada di dekat gerbang, bahkan bunyi berisik terdengar begitu nyaring, namun semuanya sia-sia karena belum juga ada tanda-tanda bahwa Paman dan Tantenya mendengar itu semua.

"Ish, rumahnya Uncle Aksa kedap suara kali ya, kok gak ada yang keluar sih!" gerutu Rafa sambil berusaha meredam rasa dingin dan rasa sakit yang terasa bersamaan.

"Ya Allah, jangan tumbang disini please!" harapnya dalam hati, udara dingin yang semakin menusuk membuat Rafa menggigil hingga bibirnya bergetar.

"Uncle Aksa!" panggilan terakhir itu terdengar begitu keras, sebelum akhirnya tenaga Rafa sudah pada titik limit dan ia pun sudah tidak bisa lagi menopang beban tubuhnya sendiri. Hingga tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menahan tubuh lemahnya.

"Abang," panggilan itu samar terdengar di telinga Rafa. Matanya sudah mulai buram bersamaan dengan kesadarannya yang menurun.

"Uncle--ke-ma-na--a-ja--" tanyanya terbata, suara terdengar begitu pelan.

"Maafin Uncle, Bang. Tadi Uncle--ABANG!" panik Aksa begitu melihat Rafa menutup matanya dan ia juga dapat merasakan bobot tubuh Rafa yang memberat di pelukannya.

"Ya Tuhan, Rafa!" Syena yang baru saja turun dari mobil, segera berlari mendekati Aksa yang tengah berusaha membawa Rafa dalam gendongannya.

Aksa yang tadinya turun dari mobil untuk memastikan siapa orang yang ada di depan rumahnya, sungguh tidak menyangka bahwa itu adalah keponakannya dan bahkan dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

"Aksa, Rafa kenapa?"

"Aku juga gak tau, Syen. Tadi begitu aku deketin tiba-tiba dia kaya mau jatuh gitu dan--"

"Ya Allah, Rafa!" suara itu terdengar, membuat Aksa dan Syena menoleh ke sumber suara. Mereka bisa menemukan Fadli yang masih mengenakan jas dokternya berlari mendekati mereka.

"Aksa, sini biar gue yang gendong Rafa." Fadli dengan cepat mengambil alih tugas Aksa dan meminta Aksa untuk menaruh Rafa di punggungnya.

"Syen, buka pintu gerbangnya!" perintah Aksa cepat pada istrinya, namun hal itu dicegah oleh Fadli.

"Gak usah, Syen. Gue pinjem mobil kalian aja ya. Rafa harus gue bawa ke rumah sakit. Gue khawatir kondisinya dia bakal makin parah." respon Fadli cepat. Dengan segera Aksa menawarkan diri untuk membantu mengantarkan.

"Syen, please lo ke rumah Raflan ya sekarang. Kabarin ini ke Nia dan minta dia jangan dulu kasih tau soal ini ke Raflan karena kondisinya dia juga lagi kurang baik." Syena mengangguk pasti dan bergegas memenuhi permintaan Fadli. Sedangkan Fadli dan sang suami segera masuk ke dalam mobil untuk membawa Rafa ke rumah sakit.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, wajah panik Fadli terlihat jelas. Berbeda dengan Aksa yang berusaha lebih tenang karena saat ia sedang menyetir dan ia harus tetap berusaha fokus.

"Sebenernya Rafa kenapa, Fad?" Aksa tentu ingin tahu lebih detail mengenai kondisi keponakannya.

Helaan nafas kasar terdengar setelahnya, Fadli terpaksa mengalihkan fokusnya dari Rafa yang ada di pangkuannya untuk menjawab pertanyaan Aksa.

AbyrafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang