Malam semakin larut. Angin malam menyerbu dengan begitu derasnya bersama datangnya rintik hujan yang menyerbu bumi nusantara. Memang hanya gerimis. Namun begitu dalam terasa. Aroma tanah becek yang terguyur banyu sangat khas begitu menenangkan. Beberapa toko telah tutup membuat tempat itu seperti kota mati. Sepi dan senyap tanpa lalu lalang kendaraan lewat. Sekali lagi hanya bising udara malam yang terdengar melalui telinga.Di sebuah coffee shop nampak dua orang yang masih bergelung dalam kesibukan masing-masing. Tak ada pembicaraan diantaranya. Semua sibuk. Seseorang melirik arloji yang berada di pergelangan tangannya. Jarum jam telah menunjuk angka sebelas kurang sepuluh menit. Ahh... pantas saja, pikir orang itu.
"Jaka, apakah kau masih lama?" Tanya orang itu kepada seorang pemuda bernama Jaka
Seraya tetap melakukan pekerjaannya yang tengah asik dengan kain lapnya dia menjawab, "sebentar lagi selesai mbak, lebih baik sampeyan pulang saja. Ora elok perempuan pulang malam-malam."
"Aish... kalau begitu cepat kau selesaikan. Aku tunggui," kembali orang itu memainkan telepon genggamnya.
"Biasanya juga begitukan, tak mungkin aku meninggalkanmu sendiri sementara tempat ini sudah benar-benar sepi. Huh, entah mengapa aku merasa begitu aneh malam ini," lanjutnya yang mendapat kekehan dari Jaka.
"Aneh piye tho Mbak Aya? Kan biasa juga gitu tho. Toko daerah sini kalau sudah lewat sepuluh malam juga sudah tutup semua, kecuali memang toko makanan dan minuman seperti kita."
Sebenarnya untuk ukuran kota sebesar ini pukul sepuluh belumlah terlalu malam. Karena kota ini memang selalu memiliki kehidupan malamnya sendiri. Seperti halnya angkringan maupun coffee shop seperti ini. Tapi semua berubah sejak beberapa minggu belakangan karena adanya peristiwa pembegalan di daerah ini. Tentu saja hal itu merubah hampir semua kebiasaan toko tak terkecuali coffee shop Aya. A coffee's.
Perempuan yang dipanggil Mbak Aya oleh Jaka itu melirik sekilas ke arah pemuda itu. Dia membenarkan ucapan pemuda berkulit cokelat itu. Tapi tetap saja dia merasa sesuatu dan sayangnya tak tahu apa itu. Always like that.
"Huffttt... sudah selesai mbak, ayo let's go dhewe bali," campuran dari ketiga bahasa dari mulut Jaka membuat Aya terkekeh.
Tinggal di kota pendidikan sekaligus wisata membuat Aya memang harus sering-sering mendengar ketiga bahasa itu. Bahkan dia memang dituntut untuk bisa, mengingat pekerjaannya sebagai fotografer sekaligus pemilik kafe yang lumayan dikenal membuat perempuan itu banyak bertemu orang asing. Warga lokal atau warganegara asing. Tapi memang baru pemuda di depannya ini dia bisa mendengar perpaduan ketiga bahasa itu dalam satu kalimat.
Jaka bukan hanya karyawannya tetapi sudah dia anggap seperti adik sendiri. Begitu pula Jaka yang telah menganggapnya sebagai kakak dan malaikatnya. Hubungan yang terjalin cukup lama membuat keduanya begitu akrab satu sama lain terlebih rentan usia yang tak begitu jauh hanya selisih empat tahun. Takkan ada yang menyangka jika dulu pertama kali mereka bertemu sangatlah berbeda dari sekarang. Pertama kali Aya melangkahkan kakinya di Jogyakarta, Jakalah yang pertama wanita itu temui. Seorang bocah ingusan yang mencoba memalaknya. Bahkan tingginya tak lebih dari tinggi dari Aya. Dengan rambut pirang karena terlalu sering terpapar sinar matahari, kaki tanpa alas kaki itu menapak di atas aspal terminal serta pakaian penuh debu dan tanah menambah lusuh penampilan Jaka waktu itu.
Flashback
"serahkan tas karo kameramu itu!!!" ucap Jaka kecil dengan suara yang digalak-galakkan.
Bagi Aya menghadapi pemuda ingusan di hadapannya itu bukanlah sesuatu yang sulit. Dia memiliki sertifikat bela diri tae kwon do dan sudah mencapai sabuk merah. Tinggal selangkah lagi dia bisa mencapai sabuk hitam. Sekarang di sini ada anak ingusan yang mencoba merampoknya. Huh, mimpi loe bocah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR BAYANGAN
Ficción General*Judul sebelumnya My Story Menceritakan perjalanan seorang gadis yang pergi dari tempat kelahirannya. Mencoba menghindari masalalu yang mengganggu hingga bertemu dengan orang-orang baru membuatnya melupakan kota kelahiran. Namun akankah hal itu berl...