Prolog

11.9K 1.4K 57
                                    


LINE-nya berdenting beberapa kali. Hampir semua grup aktif bersamaan, grup fakultas, grup angkatan, grup BEM, grup kepanitian A B C dan lain-lainnya, khas isi aplikasi messenger budak proker. Semuanya bertanya hal yang sama; ada yang satu grup KKN atau tidak dengan mereka? Atau minimal punya kontak nama-nama yang di-screenshot.

Dua hari lalu, dia sudah ngos-ngosan mengejar waktu untuk memilih kelompok Kuliah Kerja Nyata, program wajib di semester ini yang harus diambil oleh mahasiswa angkatan 2017. Dirinya sudah babak belur kalah cepat dengan banyak mahasiswa lain sampai-sampai tak mendapat lokasi KKN paling dekat di desa-desa sekitaran kampus, kini harus mengerang melihat kelompok KKNnya.

"Gawat, aku gak satu kelompok sama kamu." Arjena mengeluh keras-keras. Kemudian lanjut menyeruput es tehnya.

Dia mendengus. "Ai kamu masih mending, aku tuh gak kenal satu pun sama kelompokku. Kumaha yeuh?"

"Hah, serius?" Jena merebut ponsel yang dibalut case hampir lumutan itu dari tangannya. "Waduh, ini cowoknya cuma dua doang, kamu sama siapa ini namanya Alva-Alva ini. Mana bikin pupuk kompos,"

Kantin asrama kedokteran hampir kosong begitu memasuki jam 2, rata-rata mahasiswa sudah melewati jam makan siangnya. Bahkan santer terdengar FIB memang jarang punya kelas hingga mentok jam 4. Tempat ini relatif jauh dari fakultas mereka yang ada di seberang sana, tapi ayam gorengnya memang juara.

Nadhi mengedik. "Ya udahlah, nggak penting juga. Jangan bias gender gitu dong kamu, Jen. Siapa tahu cewek-ceweknya perkasa." dia tertawa renyah.

"Dasar SJW!"

"Kamu juga KKNnya jauh, sama-sama menderita lah!" bela Nadhi, berharap sahabatnya sejak TK itu jadi teman sependeritaannya.

Jena tertawa keras-keras, "Punten mengecewakan, KKN aku di Pangandaran, bro. Seenggaknya bisa ke pantai setiap sore sampai bosan."

Sebegitu dongkol Nadhi mendengarnya, hampir-hampir kaki Jena di bawah meja ditendangnya kalau saja seseorang tidak menghardik dari kursi paling ujung.

"Jangan berisik dong! Ketawa kayak dunia isinya kalian doang!"

Dua-duanya terperanjat, menengok ke belakang. Seorang cowok berbadan mungil dengan kacamata tersampir di hidung bangirnya menatap mereka tanpa sopan santun, langsung deadly stare. Jelas hardikannya barusan bukan main-main.

Jena jelas hampir menjawab cowok itu kalau saja tidak dikode oleh Nadhi untuk segera pergi saja dari sana. Nadhi Cuma tersenyum kecut ditatap temannya itu. Mereka membayar makanan sambil berjalan keluar.

"Heran, galak banget sih cowok itu, padahal kan tempat umum. Kayak lagi PMS aja." jelas Jena masih kesal. "Na! Malah ketawa!"

"Syukurin aja. Lagian berisik banget ngetawain penderitaan aku. Karma is real!"

Jena bergidik. "Inilah kenapa ya, aku gak bisa dekat sama anak FIB. Nyentrik-nyentrik banget!"

Sambil men-starter motornya, Nadhi Cuma terkekeh menanggapi Jena. Anak itu memang dibesarkan di keluarga Jawa yang halus tatakramanya, jarang bisa mengerti dengan tabiat orang Sunda yang terkesan lebih sembarangan dan berisik.

Begitu Jena naik di jok belakang, dia melajukan motor itu sambil berujar, "Kalau kamu cinlok sama anak FIB pas KKN gara-gara keseringan mantai bareng, aku bakalan yang paling keras ketawa pokoknya!"

Helmnya cuma ditoyor oleh Jena sebagai balasan.

-------------------------------------------------------------------------

-------------------------------------------------------------------------

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now