Sembilan; titik nol

7.7K 1.1K 473
                                    


Suara grabak-grubuk membuat Junio mendongak siap memaki siapapun yang membuat keributan pagi itu. Belum sempat dia angkat suara, pintu kamarnya terbanting. Menampakkan Nadhi yang masuk terbirit-birit dan tanpa busana, setidaknya di bagian atasnya. Dan... basah kuyup bak kucing tercebur ke selokan.

Junio melongo. "Lagi, Na?"

"Maaf, maaf." Cowok itu mengusak rambutnya yang masih meneteskan air. "Masih mending begini kan ketimbang aku teriak kayak kemaren dari kamar mandi buat ambilin handuk?"

Teman sekamarnya itu beringsut meraih handuk di lemari. Menatapnya lurus-lurus. "Gue gak paham mesti ngepanikin apa sih," ujarnya geli.

"Ya malu aja sih, Jun." Nadhi memelas.

Junio ingin menempelengnya saat itu juga. Tapi ditahannya hingga yang keluar cuma dengusan tanda kesabarannya masih berada di sana.

Untuk ukuran cowok yang cukup lihai dengan kata-kata, Nadhi rupanya punya standar tersendiri tentang malu. Junio bisa bersumpah, tidak ada yang harus ditutupi dari tubuh cowok itu. Dadanya direkati otot-otot kencang tanpa gelambir lemak. Perutnya terbentuk sempurna walaupun dia mengatakan berkali-kali kalau cuma mau ke gym jika sedang nganggur saja. Belum lagi tinggi cowok itu sudah sempurna menopang bahu lebarnya dengan proporsi yang pas.

Jaman sekarang, ketika ada lebih banyak orang yang percaya diri menunjukkan dirinya apalagi sekadar tanpa atasan di kalangan cowok-cowok, Nadhi akan kekeuh minta Junio mengambilkan handuk kalau dia lupa. Satu; semacam ejekan tak langsung ketika Junio melihat tubuhnya dan membandingkan dengan badannya sendiri, dua; menyebalkan karena efek menyusahkannya. Padahal, dengan badan seperti itu biasanya cowok-cowok akan mengumbar bangga dengan mirror selfie di gym yang mengundang decak kaum hawa.

Junio melemparkan handuknya ke Nadhi, melengos duduk kembali di depan laptopnya. Tak ingin berlama-lama menatapi badan cowok itu karena merasa risih sendiri. Lagi-lagi mengulang keluhannya dalam hati untuk yang kesekian kali.

Susah banget punya temen sekamar begini...

"Apa sih yang harus ditutupin, badan lo oke-oke aja. Sekali liat juga tuh cewek-cewek yang ada kesenengan." selorohnya asal. Tapi memang mengandung kebenaran.

Belum lama ini Junio mendengar desas-desus gosip di kalangan anak perempuan di rumah itu kalau mereka mempertanyakan apakah Nadhi punya pacar atau tidak sebab... ya, mungkin ada yang ingin mengambil kesempatan mumpung KKN masih dua minggu lebih lagi.

"Hush," Nadhi memukul bahunya main-main. "Emangnya aku eksibisionis."

"Biasa aja kali, banyak cowok buka baju juga di mana-mana. Di kosan sambil ngumpul, di GOR Jati sambil lari, lazim kali." Junio beralasan. Sebenarnya dia tahu itu semua karena sudah terlanjur kesal dengan maraknya cowok-cowok umbar badan ketimbang melabelinya lazim. Badannya yang kering kerontang ini? Mana bisa.

Nadhi nyengir lebar-lebar, membuat Junio mundur. "Kok kamu enggak, kalo tau itu lazim?"

"Not my thing," kata Junio mengangkat bahu. Melirik tangannya yang putih pucat dan tak berisi bak spageti. "Badan gue nggak cocok buat dipamer-pamer, sorry ya."

"Lho, terus aku apa?"

"Jangan sok polos deh,"

"Eh, beneran,"

Junio meliriknya gemas. "Ngaca sana! Gak usah mancing-mancing minta dipuji ya, Na." dia menunjuk penuh emosi ke kaca di lemari. "Ngomong lagi gue timpuk pake tesaurus lo!"

Tawa Nadhi menguar ke seisi ruangan. Dia mundur perlahan sambil memperhatikan tesaurus mungil di tangan Junio yang siap untuk dilempar kapan saja. Kecil-kecil begitu, tesaurusnya bisa juga bikin benjol. Dan dia masih harus menghadiri acara hari ini tanpa harus merelakan wajahnya bonyok duluan.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now