Enam belas; kembali

7.4K 1K 449
                                    


Dinginnya pagi itu bukan sekadar ungkapan metafora.

Junio bangun sendirian. Subuh-subuh. Suasana rumah sudah riuh dengan suara cewek-cewek yang saling menanti giliran untuk masuk ke kamar mandi. Rupanya, bus KKN mereka akan sampai satu jam lagi.

Dia dan Nadhi tidak bertukar satu kata pun semalaman. Nadhi ikut acara maraton film terakhir kelompok mereka dan mengurus alasan untuknya yang dikatakan 'sakit, gak bisa diganggu' agar bisa tetap berdiam diri di kamar. Bukan karena tidak mau menjadi anggota kelompok yang setia kawan, tapi leher dan bahunya yang dipenuhi bercakan itu menjegalnya.

Junio menyibukkan dirinya dengan apapun yang bisa menyerap perhatiannya. Dia bahkan berusaha untuk menata ulang isi kopernya dua kali, kemudian mengecek semua area kamar untuk memastikan tidak ada satu barang pun yang tertinggal. Tidak ada kabel data yang tercecer, sisa makanan di bawah ranjang, pakaian terselip di pinggir kasur atau di kamar mandi, atau bahkan persediaan tehnya yang sudah aman dalam tas dihitung kembali jumlahnya. Kegelisahan menjalarinya hingga ke ujung-ujung jari tangan dan kaki. Dan waktu berlalu begitu saja.

Tahu-tahu, semua orang sudah berada di luar ketika bus mereka datang, dan dia kini sudah menyaksikan Nadhi yang bertanya, "Udah enggak ada yang ketinggalan lagi kan? Semuanya aman?"

Semuanya mengangguk mantap, hanya Junio yang memberikan anggukan seperti kekurangan oli di engsel lehernya. Bukan karena tidak yakin, tapi begitu Nadhi akhirnya mengunci rumah dan mengembalikan kuncinya ke tetangga sebelah rumah sebagai perantara sewa, Junio tahu, semuanya telah usai.

Kedua pasang mata itu sempat bertemu setelahnya.

"Jun—"

"Gue naik bus aja." Putus Junio.

-----------------------------------------------------------------------

Setelah bus mereka berhenti di pom bensin, mengikuti keinginan beberapa orang yang rindu dengan toilet atau minuman dingin, seorang penumpang tambahan datang. Secara teknis, bus itu nyaris kosong, hanya ada tiga orang yang mau naik di sana. Junio, Hani, dan Nurma, ketiganya sudah dikenal tidak menggemari keributan. Bus adalah sarana yang baik untuk membalas waktu tidur yang kurang karena maraton film semalam suntuk. Artinya, si pendatang ini bisa duduk di manapun dia suka, alih-alih langsung mengambil tempat di samping Junio yang sedang asik melihat keluar jendela dengan earphone terpasang.

Junio menengok ke arah cewek itu, wajahnya memang tidak berekspresi, tapi perutnya bergolak secara signifikan. Rasa panas menggerumuti dari leher hingga telinganya, yang Junio yakin, pasti sudah mengubah warna kulit di sana menjadi kemerahan.

"Ngapain?" Tanyanya.

Sabilla mengulas senyum simpul. "Sorry, for whatever was happening last night."

Benar-benar, jika diberikan pilihan, Junio sudah tidak mau membahas bahkan mengingatnya lagi. Tapi kemauan cewek itu untuk membicarakan hal ini dengannya patut diapresiasi, apalagi karena sebenarnya, kesalahan bukan terletak di bahu Sabilla.

"You weren't at fault," sanggah Junio dengan suara cepat dan sepelan mungkin. Mengubah bahasa dengan pengucapan secepat laju kereta adalah trik yang dikuasainya dengan Mandala jika ingin membicarakan topik nyeleneh di tempat-tempat umum. Meski tidak ada orang lain yang nampaknya punya kesadaran di bus selain mereka dan supir, Junio tidak mau mengambil resiko. "It was ours."

"It wasn't intentional,"

"I know," Junio mendesah. "Should thank you instead for doing that. Saving us from bigger... disaster."

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now