Lima belas; kotak pandora

8.8K 1.1K 841
                                    


"Mau pada pesen apa nih?" Hani sudah siap dengan lembaran catatan di tangan dan sebuah pulpen yang dipinjamnya dari pemilik gerai pecel lele.

Sore sudah berlayar jauh, tergantikan malam yang tidak ada cerah-cerahnya sama sekali. Sepertinya memang musim, angin sore ini membuat masing anggota KKN merekatkan jaket mereka masing-masing menyelubungi tubuh. Secara tak sadar, duduk berdempetan di meja warung makan pinggir jalan justru menjadi penyelamat.

Junio terhimpit di antara Nurma dan Rika, tapi tidak protes apa-apa. Hoodie-nya hangat, perasaannya tidak terlalu. Percakapan di sekelilingnya rasanya makin menambah buruk suasana hati, ingin sekali dia tulikan.

"Cie, jadi gimana ini si akang?" Charlene masih tidak berhenti menggoda Nadhi. Situasinya begini terus sejak mereka meninggalkan GOR.

Sempat berhenti cuma karena Nadhi sedang nyetir mobil, begitu selesai, mulai lagi.

"Gimana apanya?" Nadhi malah menantang, lelah dengan godaan-godaan yang tak kelar-kelar.

Pesanan mereka diucapkan satu-satu, Hani mencatatnya dengan telaten. Semuanya punya nafsu makan yang lumayan tinggi karena walaupun ada beberapa yang kurang gerak seharian ini alias tidak ikutan menjadi atlet voli, tapi makan siang mereka memang agak berantakan.

"Baru kemaren lho dengerin ibu-ibu pas beli sayur ngomongin kamu," Nurma berkata ringan.

"Oooh, yang di deket tukang ikan itu gak sih?"

"Iya, yang kemaren kita ketemu di pasar."

"Ngomongin apaan dong kasih tau?"

"Ya gitu deh, biasa, akang KKN ganteng." Kayla menaikkan alisnya ke Nadhi.

Sabilla menggeleng. "Bener-bener, KKN cowoknya cuma dua, satunya jadi hermit, satunya mendadak artis."

Rika menyenggol lengan Junio dengan sengaja, ponsel Junio sampai hampir jatuh dibuatnya. "Jun, gimana tuh, Jun. Masa kalah?"

Junio melirik sekilas, lalu melengos, matanya masih menempel ke layar, tak ingin menaikkan wajahnya sama sekali. Dia tahu, ada sepasang mata yang memperhatikannya lekat-lekat.

"Lo kira gituan tuh kompetisi," sahutnya singkat, terdengar tak menaruh minat pada topik yang diangkat. Yang lain pun sebenarnya tidak perhatian-perhatian amat dengan reaksi Junio. Malam ini adalah malamnya Nadhi.

Semua orang masih asik bersenda gurau memutari bahasan yang itu-itu saja. Bagaimana reaksi ibu-ibu akan berbeda kalau Nadhi yang meminta bantuan tentang sesuatu. Anak SMA yang diam-diam suka melongok dari jendela rumah di seberang mereka ketika Nadhi nongkrong di luar. Atau, ya, memang dari gelagat anak Pak Lurah yang sudah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan sejak lama.

Cerita-cerita itu dibumbui dengan apik sehingga terasa seperti gosip selebritas papan atas, nada-nada penuh skandal terdengar, khas cewek-cewek kalau sedang menggosip. Lalu heboh sendiri. Spekulasi tahu-tahu sampai ke alasan mungkin anak Pak Lurah akhirnya nekat juga karena dihantui kepergian mereka yang tinggal sehari lagi.

Spekulasi itu menusuk jantung Junio dengan cara yang tak terduga. Membuatnya mengetatkan bibirnya, langsung mengerti dengan keadaan. Junio tetap mendengarkan dalam diam hingga pertanyaan yang menggelayut itu akhirnya disuarakan. Charlene bertanya blak-blakan.

"So, keputusannya bapak ketua gimana nih? Diterima enggak?"

Junio menahan mati-matian untuk tidak menurunkan ponselnya yang sedari tadi menjadi tameng. Dia lelah menganalisis, dia sedang terlalu capek untuk menerka-nerka. Lagipula, itu juga bukan urusannya kan?

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now