Empat; hari pertama di Majalengka

7.4K 1.1K 202
                                    


"... serius ini kasurnya cuma satu?"

Junio menatap nelangsa ruangan di hadapannya yang sudah ditunjuk menjadi kamarnya sebulan kedepan bersama dengan Nadhi, satu-satunya cowok lain dalam kelompok selain dirinya.

Dengan total kelompok berisi 10 orang, pembagian kamar menjadi 4-4-2, selebihnya berada di kamar-kamar yang lebih besar ketimbang mereka. Harusnya sih laki-laki dan perempuan dibagi ke rumah berbeda, tapi karena hanya ada mereka berdua, mencari satu rumah lagi dengan satu kamar akan lebih merepotkan dan mahal ketimbang rumah berkamar tiga.

Nadhi menggaruk tengkuknya. "Besok kita cari satu kasur lagi atau apa gitu lah ya," responnya. "Malem ini kamu aja yang pake kasurnya, aku tidur di bawah deh, pake karpet aja."

Junio mengedikkan bahunya. Tak masalah baginya jika Nadhi berkata begitu.

"Oke."

-------------------------------------------------------------------------

"Astaga, Junio! Pendek amat itu celana!"

Seorang cewek terpekik begitu melihat Junio keluar dari kamarnya.

Jam 8 terbilang pagi untuk Junio berani menjauhkan diri dari kasur yang sedang nyaman-nyamannya, tapi suara-suara banyak orang di luar membuat niatnya itu urung. Dia hendak melihat situasi ketika sapaan pagi itu didengarnya.

Beberapa cewek tertawa. Junio hanya memutar matanya.

"Jangan diliat, susah amat." sahutnya cuek.

Dia melangkah ke dapur, di mana beberapa orang lain sedang menyeduh kopi maupun teh. Aromanya menguar kemana-mana. Dahinya mengernyit bingung.

"Lah, kok pada gak bikin sarapan?" tanyanya heran. "Ngopi ngeteh aja cukup?"

"Masih enggak ada bahannya, Nadhi udah jalan sih nyariin pasar sama Hani. Sekalian lapor katanya mah ke rumah pak Lurah." Sabilla, yang diingat Junio sebagai cewek yang minta tolak angin di bus menjawab.

Junio manggut-manggut saja.

Begitu Nadhi kembali satu setengah jam kemudian, cewek-cewek masih sibuk mengakrabkan diri ria di ruang tengah dengan televisi menyala tanpa ada yang menonton. Sementara Junio berada di sofa di ujung ruangan dengan teh di tangannya. Memilih menghindar dari kerumunan.

Nadhi menurunkan belanjaannya di dapur, sementara Hani menghempit sebuah map di tangannya yang dikenali semua orang sebagai berkas perizinan kegiatan KKN mereka.

"Oke, di sini siapa yang bisa masak?" tanya Nadhi serius. "Aku mau bagi-bagi kelompok kerjaan rumah nih."

Semua orang langsung menengok, dan hampir serempak menggeleng. Menyerukan variasi jawaban mulai dari, "Nggak bisa, gak biasa masak.", "Bisa tapi indomie doang.", "Bisa masak nasi keitung gak?", "Masak air aja hangus gue mah." yang membuat Nadhi menghela napasnya.

Sebenarnya dia sudah bisa mengira-ngira, melihat banyak dari anggota KKNnya adalah anak kota nan berada yang obrolannya berputar-putar di merk baju dan mall favorit di Bandung atau Jakarta sampai ke staycation bersama pacar di Jogja. Jadi sebenarnya dia tak terlalu kaget. Tapi tetap saja kecewa.

Alamat jadi koki sebulanan iyeu mah, nelangsanya dalam hati.

"Oke, kalau begitu dibagi-bagi gini aja ya. Ada yang ke pasar dua kali seminggu, ada yang bagian cuci baju, ada yang bagian nyapu-ngepel rumah, tapi satu orang ada yang bantuin aku masak tiap hari. Gak apa-apa deh potong-potong doang juga." tawarnya.

Tehentak, Junio langsung mengacungkan tangannya naik. "GUE AJA YANG BANTUIN MASAK!" suaranya menggelegar.

Begitu mendengar pilihannya antara bersih-bersih satu rumah, mencuci, atau jalan ke pasar, dia bisa melihat jika pilihan memasak bersama Nadhi mungkin adalah opsi terbaiknya. Junio tak perlu menimbang-nimbang opsinya lebih lama.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now