Dua puluh empat; rekaman baru

6.4K 979 324
                                    


Mereka makan dengan agak terburu-buru, mengejar jam satu, waktu selesai makan siang. Yang dikorbankan jelas, acara potong kue dan mencicip jadi hilang bablas dari agenda. Nadhi tak sungkan-sungkan memperlihatkan bagaimana dia keberatan dengan keputusan Junio satu itu.

Segala jenis bujuk rayu sudah dilontarkan tapi membal semua. Tidak ada yang berbuah satu pun. Nadhi harus pasrah dan mewanti-wanti, kalau kue itu bisa saja meleleh ketika ditinggalkan di mobil yang pengap dan Junio hanya mengangkat bahu, katanya, "Yang penting masih bisa dimakan,". Perseteruan mereka dicukupkan sampai sana.

Jam satu lewat sepuluh, Balai Desa masih sepi. Beberapa loket pelayanan masih ditutup. Ada jauh lebih sedikit orang yang lalu lalang, tak ada yang bisa mereka kenali satu pun dari kunjungan pagi tadi. Junio langsung menelusuri lorong ke arah ruangan yang mereka sambangi. Begitu sampai di depan pintunya, cowok itu berbalik, menyerahkan semua surat ke tangan Nadhi.

"Lo aja yang maju, biar cepet urusannya,"

"Kamu gak pede?"

Junio melotot. "Lebih ke capek ngadepinnya, udahlah nurut aja."

Nadhi tersenyum miring, dia menggumamkan tanpa suara, "Takut kan?" ke arah Junio yang dihadiahi dorongan keras di bahu supaya cowok itu segera memasuki ruangan.

Junio memilih untuk menunggu di luar supaya tidak memperkeruh situasi yang sempat memanas tadi. Setidaknya Nadhi bisa lebih menyejukkan suasana, dan nasib penelitian ini bergantung pada kemampuan diplomasinya.

"Gue nunggu di sini," desis Junio, menekankan dua hal; satu adalah dukungan moril, dia siap membantu jika terjadi apapun, kedua adalah ancaman, dia menunggu di sana dengan hasil yang harus baik, tidak boleh tidak.

Pintu menutup di belakang Nadhi, cowok itu melangkah dengan kepercayaan diri. Bagaimanapun sejarah di antara mereka, Junio pantang untuk merutuk kalau kawan penelitiannya adalah Nadhi. Yang ada, dia memanjatkan puji syukur sedalam-dalamnya, sesuatu yang sebenarnya langka dan jarang terjadi, karena Nadhi menyanggupi untuk pergi. Jam dua pagi.

Junio mengingat suaranya ketika menerima telepon. Dari yang awalnya ragu-ragu, langsung terdengar tajam begitu mengenali stres yang tercampur di nada suaranya. Saat ini, Junio enggan memikirkannya terlalu jauh. Tapi di sudut pikirannya, dia sadar, Nadhi akan selalu memahaminya. Suka atau tidak.

Pikirannya terinterupsi oleh bapak petugas Balai Desa yang mereka temui pertama kali saat datang. Junio menganggukkan kepalanya.

"Eh, belom juga surat kamu teh urusannya?"

"Belum, tadi ditolak,"

"Hah, kunaon?"

"Gak ada tanda tangan dosennya." Junio meringis.

"Alah, aya-aya wae. Terus sekarang dosennya udah tanda tangan? Kumaha carana? Kalian ngedatengin dari Bandung kitu?" Goda si bapak.

Cowok itu tersenyum tipis, menghargai lelucon yang dilontarkan. "Minta tanda tangannya via Whatsapp aja."

"Oh, terus dipindah? Bisa nya?"

"Bisa,"

"Ya udah atuh, saya mau masuk dulu. Punten, Dek, jangan ngehalangin pintu." Bapak itu bergerak ke arahnya. Junio beringsut mundur.

Dia menghela napas. Jam tangannya menunjukkan baru lima belas menit Nadhi berada di dalam. Dan Junio tidak tahu cowok itu akan bertahan berapa lama lagi berdiri di depan ruangan jadi dia memilih untuk duduk di kursi yang berada di pinggir lorong.

Nadhi belum juga keluar hingga Junio dengan kesabarannya yang kian menipis sudah berjalan-jalan lagi, menghilangkan rasa gatal yang menjalar di kakinya karena resah. Otaknya dialihkan ke mading-mading yang tertempel di sepanjang koridor dan berisi informasi-informasi seperti cara meminimalisir gagal panen hingga menuangkan obat anti bibit nyamuk dengan baik dan benar. Koneksi kedua informasi itu nyaris tak ada, dan Junio hanya mengira-ngira, siapa yang berpikir kalau ini adalah ide bagus untuk menempatkan kedua poster itu berdampingan.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now