Tujuh; kompromi

7.5K 1.1K 392
                                    


Mati lampu menjalari lebih dari satu desa rupanya. Angin malam itu benar-benar keras sehingga nampaknya ada masalah di beberapa titik saluran listrik. Begitu listrik mati, seisi rumah langsung menuju keluar, mencari kejelasan situasi. Karena jujur, suasana desa di Majalengka malam-malam yang normal saja sudah terasa sepi. Belum lagi dengan alpanya lampu jalan di banyak tempat.

Di kelompok mereka sendiri, Nadhi menegakkan perjanjian bersama kalau tak ada yang keluar malam sembarangan di atas jam 10 malam, dan semuanya setuju. Selain karena memang sering ditakut-takuti warga desa tiap kali mengobrol tentang cerita-cerita misteri lokal, sebenarnya tak ada juga tempat yang bisa dituju lewat jam segitu.

Oleh sebab itu mereka semua akan memastikan segala kebutuhan didapatkan sebelum batas jam malam terlewat. Dan sejauh ini, belum ada juga situasi emergensi di mana mereka terpaksa harus pergi malam-malam.

Di awal-awal mati lampu, mereka semua berkumpul sambil berbagi cerita di ruang tengah. Tidak ada yang punya mood cepat-cepat kembali ke kamar mengingat kondisi sepi dan gelap. Dalam balutan selimut dan tumpukan bantal, obrolan malam mereka bertahan hingga pukul jam 1 pagi dan mayoritas diisi oleh cerita mistis.

Semuanya diawali oleh kikik cewek-cewek yang mulai menggosip cerita KKN Desa Penari, dari sana, pembicaran menjalar kemana-mana dan mengingat satu-satu mitos lokal yang pernah diceritakan. Dari kunti di persimpangan jalan hingga kuburan tanpa nama di dekat puncak gunung. Masing-masing ke kamar dengan godaan keras-keras untuk yang penakut dan tawa lepas.

Kontras langsung terasa kala Junio dan Nadhi tinggal berdua di kamar. Hanya ada suara detikan jam dan serangga malam samar-samar. Terkadang, ada suara Nadhi yang masih saja bersin-bersin sedari pagi.

Junio berkali-kali mengubah posisi tidurnya karena tak nyaman. Kasur sempit itu bergemeresak karena walaupun sudah setengah jam dia mencoba memejamkan mata, kantuk tak juga datang.

Sialan, gara-gara pada cerita horor nih, rutuknya penuh dendam. Bisa dipastikan esoknya dia akan bangun dengan mood masam karena malam ini bakal kurang tidur bahkan mimpi buruk sekalian.

Walau sudah banyak-banyak berdoa supaya cepat tidur dan tak berpikir macam-macam, tetap saja malam ini lain dari biasanya. Suasana gelap gulita ditambah dengan angin yang mengetuk-ngetuk jendela ventilasi membuat atmosfer mencekam sulit dia enyahkan dari kepala. Untuk kesekian kalinya dia mengubah posisinya lagi, membelakangi sinar bulan remang-remang yang datang dari celah jendela. Membuat tubuhnya menghadap ke arah di mana Nadhi biasanya tidur di sisi ranjang.

Jantung Junio berdentum-dentum tak tenang dan baru saja dia memejamkan mata semenit, tubuhnya terlonjak kaget saat sebuah sentuhan terasa di pundaknya.

"Jun,"

"HAH!" Junio membekap mulutnya erat-erat. Sebegitu kagetnya dia hingga dalam sepersekian detik, tubuh kecilnya sudah berada menempel pada tembok di sisi lain tempat tidur. Dan jika tidak ditahan, bisa-bisa teriakannya membangunkan seisi rumah. Bulu kuduknya meremang maksimal.

"Sssttt, maaf, maaf. Kaget ya?" ringis Nadhi dalam rasa bersalah, tangannya masih menggapai-gapai tubuh Junio, berusaha meredakan paniknya.

"Apa-apaan sih lo, anjir?!" Junio berdesis murka. Sudah kepalang takut dari tadi, Nadhi mengejutkannya dengan cara begitu. Siapa yang tak akan marah?

Nadhi akhirnya berhasil menggapai lengan atas Junio, mengusapnya perlahan sebagai tanda permintaan maaf. Dari sentuhannya, bisa terasa dua suhu tubuh yang berbeda. Sementara Nadhi cenderung panas, Junio malah dingin bak mayat karena terpengaruh udara dingin di luar.

"Kok belum tidur?" tanya Nadhi akhirnya, bersyukur tangannya tak ditepis oleh teman sekamarnya. Bisa dia rasakan jika napas Junio perlahan-lahan kembali teratur. Baru setelah beberapa detik, tangannya dipukul keras-keras.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now