Scary Valentine (PART 2)

80 5 0
                                    

Yves POV

Harusnya hari ini adalah hari yang membahagiakan.

Harusnya hari ini aku akan menyatakan perasaanku apa Liam.

Harusnya...

Harusnya...

"Mau nge-date sama siapa?" Mulut bocah itu mulai bergerliya.

"Duduklah, kita makan dulu. Sambil saya menjelaskan." Aku buru-buru menyuruhnya untuk duduk, aku tak ingin Liam mengetahui bahwa aku sedang tersipu malu bisa-bisa dia akan meledekku lagi. Aku mengambil dua piring steak itu dan membawanya kedapur untuk aku panaskan di microwave sebentar. Liam masih terduduk diam, bocah itu terlihat gugup dengan penjelasanku nantinya. Kutuangkan cola-cola pada gelasnya dan milikku. "Minumlah dulu."

Bocah itu menatatap tidak percaya bahwa aku menyuguhkan minuman bersoda padanya. "Harusnya minum air dulu, bukan miunm soda." Suaranya datar. Bocah itu beranjak meninggalkan meja makan, mengambil dua gelas baru dan sebotol air mineral. "Kita simpan sodanya nanti," ucapnya seraya menuangkan air mineral ke masing-masing gelas.

Suara microwave sudah terdengar, aku buru-buru mengeluarkan piringnya. "Makanlah." Bocah itu menatatap piring yang ada dihadapannya, kemudian mengalihkan pandangannya padaku beberapa kali.

"Aku makan dua steak? Bagaimana denganmu?" Aku memberikan steakku padanya, aku tahu saat ini pasti dia sangat kelaparan apalagi setelah di perlakukan seperti itu dengan Hanna. Aku hanya tersenyum, bocah itu masih sempat-sempatnya memikirkanku dikala kondisinya seperti ini.

"Saya makannya nanti. Kamu harus makan banyak." Aku sudah tidak mempedulikan suara demo dari perutku. Aku berdeham disela-sela kegiatan makannya. Bocah itu tidak berhenti menyantap, melainkan kedua matanya menatatapku seakan mengatakan dia akan mendengarkan.

Hanna adalah mantanku. Kami hanya berpacaran kira-kira dua bulan. Semuanya berakhir saat aku menangkap basah dia sedang mengikutiku ke pergi keluar kota dengan asosiasi pecinta pastry. Hanna tidak segan-segannya menyelinap masuk kedalam kamar hotel yang disewa oleh para asosiasi, dia bersembunyi di kamar mandi. Dia datang hanya untuk memastikan aku tidak berselingkuh, padahal tiga hari yang lalu aku sudah memberitahukan mengenai hal ini bahkan mengirimkan brosur berserta chat grup untuk kegiatan ini. Saat itu aku meminta maaf kepada seluruh anggota asosiasi atas kelancangan Hanna. Pada akhirnya, aku mengalah. Aku pamit pulang lebih cepat hanya untuk menyelesaikan urusanku dengan Hanna.

Sepulangnya dari luar kota, tepat dirumah Hanna. Aku memutuskannya. Mengakhiri hubungan ini. Hubungan ini tidak membuatku terasa dimiliki, melainkan merasa seperti sedang dipenjara oleh Hanna. Dia cewek posesif. Sifat posesifnya tidak main-main. Sehabis kami putus, Hanna tidak menyerah, wanita itu tetap menguntiku, mendatangi toko rotiku setiap hari sepulang dia kerja. Rasa risih pun tak terbendung, tapi aku berusaha mengabaikannya. Sikapnya semakin menjadi-jadi ketika dia melihat kehadiran William ditokoku.

"Oke. Hentikan sampai sini, aku sudah paham tentang hubunganmu dengan dosen sinting." Liam menghentikanku. Bocah itu tidak memaksaku. Dia sepertinya paham dengan perasaanku. Menceritakan lebih lanjut sama saja akan membuka kenangan lama. "Sekarang aku meminta pertanggung jawaban Pak Tua atas tindakan asusila yang tadi." Bocah itu mengatakannya dengan tegas sembari merapikan sendok garpunya. Aku tersenyum, Liam makan dengan lahap, habis tidak tersisa.

"Maaf sebelumnya. Kalau aku tidak melakukannya, Saya takut dia tetap menganggumu." Oke ini saatnya. Aku menghela nafas sejenak. "Ciuman itu tanda saya serius denganmu." Liam masih tidak berbicara apapun, dia shock tentunya namun berusaha menututupinya. Sangat menggemaskan. Aku ingin sekali menciumnya.

Diary of MenWhere stories live. Discover now