"For The Last"

24 3 0
                                    

>>---------------()---------------<<

"Tuan, aku punya permintaan terakhir."

>>---------------()---------------<<
.

.

.

.

.

"For The Last"

By AlfaRaika

.

.

.

.

.

Dinding putih, dari akar mencapai langit. Termasuk perabotan di setiap sisi. Pendar kuning membias lewat halaman bening ditopang besi, sampai secara samar--terhalang gorden--pada brankar putih tak terisi. Yang seharusnya, ada seseorang menempati. Duduk menggerutu, atau tersenyum bodoh--yang manapun asal tidak kosong.

Damon termenung disisi. Fokusnya tumpang tindih pada kontemplasi nyata dan tidak. Perlahan menutup mata, meraih reminisensi dalam hamparan pasir luas. Menyingkir sedikit pada sosok bermahkota caramel dibibir pantai. Tersenyum lebar menyambut gulungan hitam, datang malu-malu. Menggulung jemari kaki yang tak beralas. Dulu, Damon tersenyum menanggapi.

Sampai gadis itu memutar kepala, menemukan Damon tengah mengawasi. Alih-alih merasa waspada, gadis itu mengajaknya berkenalan, berbicara seakan mereka sudah akrab lama.

Tidak ada perubahan berarti, bahkan saat Damon membeberkan identitasnya. Menyampaikan tugasnya, perintahnya. Remaja kisaran 18 itu tidak meruntuhkan lengkungan asimetris di wajah.

Dia merentangkan tangan, menyambut Damon tanpa pikir panjang. Membuat mereka terikat pada sebuah simpul tipis bernamakan takdir dan nasib. Memerankan prelude dalam kisah ironi memicu pilu.

"Selamat datang, Tuan Malaikat Maut."

Kelopaknya terbuka, lambat, tapi pasti. Tidak lagi disambut oleh ruang kosong. Akan adanya entitas lain yang terbanjiri peluh, berlapis kurva lebar menunjukkan deretan gigi. Dengan latar gelap bermandikan pendar bulan. Dibawah suhu 28 derajat, pada musim gugur bulan september. Di iringi musik retro tahun 90. Tangan kanan terangkat, mengelilingi pinggang pasangan dansa. Yang kiri mengepal halus. Mengawat jari jemari Narelle Andromeda.

Melangkah mundur, kemudian maju. Berputar sekali, lantas berhenti. Narelle terengah-engah, tapi Damon baik-baik saja.

Narelle tidak bisa bergerak, setelah sebelumnya berdansa tanpa alasan. Gadis itu terduduk di sisi, menawarkan senyum paling cerah.

Obrolan ringan mengalir lincah, dari satu topik sampai topik lain. Tidak terputus walau Narelle mendominasi, sementara Damon mengangguk, mengerjap, membalas dengan resonansi hambar--namun batal menutup pendar cemerlang penuh minat dibalik netra sablenya.

Dan Narelle sadar. Mungkin hanya dia yang sadar. 90 hari terikat dan tinggal pada rentang waktu yang sama, berbagi cerita beruntut manis juga masam. Hari singkat tanpa menyiakan tiap detik yang terlewat. Cukup membuat keduanya mencapai fase dimana frasa tidak lagi memenuhi tanggungan.

Damon adalah seorang malaikat maut. Dan jiwa yang harus dibawa pulang adalah milik Narelle Andromeda. Presensi Damon adalah untuk datang pada Narelle, tiga bulan sebelum kematian menjemputnya.

90 hari, tidak hanya menjalankan peran sebagai malaikat. Menurut Damon, Narelle seperti teman, partner bicara, sosok yang tidak bisa dia temukan pada satu dekade lalu, atau satu abad kedepan.

Maka, sebut Damon pendosa. Berani menentang restriksi yang seharusnya tabu. Antara dua entitas berbeda yang bertemu atas predestinasi nasib dan ketidak sengajaan.

Ya, Damon mencintai Narelle

Narelle yang begini, Narelle yang begitu. Menyebalkan, mengganggu, namun memberi sesuatu yang tidak pernah Damon terima. Rasa kasih, perasaan mendebarkan, lantas menuai benih sentimen hati.

Damon tau, mengerti, paham. Ini salah. Tidak seharusnya Malaikat mencintai manusia. Mereka tidak bisa bersama. Tentu saja. Rentang waktu Narelle tidak lebih dari beberapa bulan lagi, sementara Damon akan terus hidup. Abadi. Tak lekang oleh waktu.

Bersiap untuk sebuah akhir, pada hari ke-89. Tepat saat ini, setelah tempo tiap nada dari radio usai. Menghasil hening berisi hembusan nafas tenang. Menyambangi senyum, Narelle berucap tulus, "Terimakasih, Tuan."

Narelle mengusap tengkuk. Menunduk, menyembunyikan rona malu. Lantas bicara nyaris di tutup putus asa. "Begini, aku tau mungkin sudah telat 89 hari untuk mengatakannya. Tapi, kurasa aku mencintai Tuan," terkekeh, mengerahkan sisa-sisa keberanian, iris caramel dan sable besemuka. "Aneh bukan? Padahal tidak--"

Damon ingat betul, saat itu tanpa pikir panjang, dalam satu tarikan membuat Narelle ada dalam rengkuhan. Menyandarkan kepala gadis itu di dadanya. Memotong kata-kata yang belum usai.

Tidak perlu bicara lagi, keduanya sama-sama mengerti. Paham. Pada perasaan masing-masing pihak. Konsekuen. Dan ujung seperti apa yang menanti.

"Tuan, aku punya permintaan terakhir." Narelle mengangkat kepala, menyusup diantara celah leher Damon, lantas berbisik lirih. Dengan suara lembut, penuh asa bersampul pilu. Mencaruk-maruk hati, mencapai ruang terdalam. Melukai dengan cara paling indah.

Dalam sekejap, pada satu kedipan, Damon ditarik kembali dari ujung memori. Tidak ada lagi seorang gadis bersurai caramel. Tidak ada Narelle.

Netra berserobok pada lintas cakrawala. Meninggalkan selaput jingga berona cerah. Dimana laut dan langit bak dua dimensi berbeda. Lambat laun tertelan awan gelap, hitam.

"Tuan!"

Damon berpaling, menemukan eksistensi kecil bersurai caramel. Memandang Damon lugu dengan netra cerah.

"Ah, sudah waktunya ya." Mengulas kurva tipis, Damon membungkuk, mensejajarkan wajah dengan tubuh mungil di depannya. "Kau sudah siap?"

"Ya! Aku sudah siap!" Tersenyum lebar, dengan cara paling familiar. Sampai netranya hanya tersisa satu garis tipis. "Ayo kita pergi, tuan!"

Damon mengulurkan tangan, disambut baik milisekon kemudian oleh bocah itu. "Namamu?"

"Narelle. Namaku, Narelle Andromeda!"

.

.

.

.

.

>>---------------()---------------<<

"Jika aku terlahir kembali, aku ingin bertemu lagi denganmu."

>>---------------()---------------<<

.

.

.

.

.

Note: MAAPKAN SAIA SETELAH ILANG BERBULAN BULAN MALAH NGEBUAT MATA KALIAN IRITASI SAMA TULISAN SAIA //guling-guling//

Sok puitis banget. Iya tau maapkan.

Btw, kenapa lapak sebelah belum update update? Karena saat ini... SAIA LAGI MOGOK NULIS AHAHAHA //Plak

Huhuweeee saia sedang berusaha memerat imaji. Tolong bersabar //gigit jari//

SORRY (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang