10 2 0
                                    

Satu minggu. Selama itu Lyra belum memberi tanda-tanda pergerakan. Selama itu juga seorang Lucas yang biasa membuat keributan di kelasnya menjadi sangat pendiam, bahkam candaan teman-temannya tidak dapat mengembalikan tawanya.

Sekarang dia tinggal di rumah sakit, menunggu Lyra siuman. Bukan pertama kali baginya merasakan rasanya menunggu. Dia juga masih menunggu Juna, yang sudah bertahun-tahun tidak membuka matanya.

"Bell, Johnny kemana?" Lucas baru saja sampai di ruangan Lyra, dia agak terlambat karna harus membeli bunga anggrek bulan kesukaan Lyra.

"Lagi beli makan di kafetaria." Bella yang duduk disisi ranjang Lyra mengambil bunga anggrek dari genggaman Lucas dan ditukarnya dengan anggrek yang sudah layu di vas bunga.

"Gue mau ke kamar Juna bentar. Tolong jagain Lyra, Bell."

"Oke. Titip salam buat Juna."

Lucas yang sudah mengganti pakaiannya tadi dengan kaos dan celana training, langsung pergi ke kamar rawat Juna yang tidak jauh dari kamar Lyra.

Mama dan papanya sedang aja perjalan bisnis ke Bali, jadi tidak bisa menjaganya selama hari. Lucas tidak keberatan dengan pekerjaan orangtuanya. Toh, mereka masih bisa bercengkrama saat mereka di rumah dan Lucas tau betapa lelahnya mereka berdua mencari uang.

"Na. Lo sampai kapan mau tidur? Kapan lo bakal bangun, Na? Noh, si Lyra sampe nyamperin lo. Ketemu gak lo sama dia? Jangan-jangan nyawa lo ketinggalan di Beijing terus nyasar lagi. Cepet bangun, Na. Gue juga mau lihat lo pake seragam SMA. Gue mau lihat seberapa ganteng lo. Tapi, kayaknya masih gantengan gue dari dulu." Lucas terkekeh ketika mengingat memorinya dulu bersama Juna, karna selalu diikuti siswi di sekolahnya untuk diajak berfoto. Bahkan, dia tidak ingat sudab berapa surat cinta dan perempuan yang dia tolak.

Juna masih tidak bergeming, dia terlalu tenang dalam tidurnya. Terkadang Lucas dan keluarganya takut akibat ketenangan itu.

"Oh ya, Bang. Lo dapet salam dari Bella. Pacarnya Bang Johnny. Dia juga sering jengukin lo. Sering beliin lo bunga juga. Padahal, Bang Johnny gak pernah dikasih bunga sama dia. Pokoknya lo harus cepet bangun aja."

Ponsel Lucas berdering. Diangkatnya panggilan masuk itu.

"Halo?"

"Cas, lo dimana?"

"Di kamar Nana. Kenapa?"

"Kapan terakhir lo makan?"

"Kemarin."

"Lo mau apa? Mumpung gue masih di kafetaria."

"Susu pisang aja sama bakpao."

"Apalagi?"

"Apa ya??? Oh itu bang. Kolor. Kolor gue abis."

"Kolor ndasmu. Mana ada orang jual kolor di kafetaria bambankk."

"Yaudah sih. Gak usah sewot. Cepet ah. Gue laper. Lama, lo yang gue makan."

Tut.

Lucas memutuskan sambungan panggilannya. Lucas yang tadi menatap keluar jendela, membalikkan badannya.

"ASTAGA! TUHAN YESUS!" Lucas terjungkal kebelakang dan jantungnya hampir copot.

Ditekannya nomor 5 dipanggilan cepatnya.
"Halo, dok? Tolong ke kamar Juna. Dia sadar."

Jantung lucas benar-benar hampir copot ketika melihat Juna manatapnya sambil tersenyum.

"Lo tuh ya Na. Kalo mau sadar tuh bilang kek. Mau copot tau jantung gue lihat lo senyum kayak gitu." Tak terasa Lucas sudah meneteskan air matanya. Dia sangat bahagia hari ini.

Rain DropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang