22

849 39 3
                                    

Beberapa bulan setelah kepergian Farel, semua kembali normal. Waktu memang berjalan terlalu cepat. Tidak ada lagi terdengar gosipan tentang kepergian Farel di telingaku. Tidak ada lagi yang membicarakan Farel. Semua kembali normal, seakan tidak ada kejadian sama sekali.

"Shil, makanannya dimakan kali. Jangan dimainin."

Aku mengangkat wajahku dan memberikan sebuah senyuman ke Kak Faris. Sepulang sekolah, Kak Faris ngajakin aku makan indomie yang lagi ngetrend di sekolah. Memang sih, mienya enak walaupun tempatnya kelihatan sederhana. Tapi entah kenapa selera makanku hilang.

Bukan karena tempatnya yang kelihatan sederhana kok. Aku enggak sematre itu.

Kak Faris meletakkan sendoknya dan menatap ke arahku, "Enggak suka sama mienya? Atau gak suka pergi sama gue?"

Typical Kak Faris yang baru-baru ini aku ketahui. Jika dia bicara sama aku, dia bakal manggil dirinya sendiri dengan sebutan 'gue' dengan nada tingginya kalau dia lagi marah.

Aku meletakkan sendokku, persis seperti Kak Faris tadi. "Bukan gitu, kak. Shilla lagi kepikiran sama persiapan perpisahan nanti. Kan tinggal dua minggu lagi, kak." dustaku.

"Enggak usah dipikirin kali. Kalian juga masih kelas 10. Yang banyak turun tangan kan nanti kami," jelas Kak Faris. Aku bisa merasakan nada tinggi yang ia gunakan. Kak Faris kembali memakan mienya.

Aku menghembuskan nafas lalu memijit pelipisku. Kenapa Kak Faris jadi kaya gini sih? Sekarang Kak Faris lebih sering marah-marah dibandingkan ketawa. Dia beneran berubah.

"Kamu masih mikirin Farel ya? Atau masih mikirin sama gosip murahan yang dibuat anak-anak tentang kematian Farel gara-gara kamu?"

Untuk kali ini aku beneran terkejut. Gak biasanya Kak Faris ngungkit masalah yang udah lewat. Dan, gak biasanya juga dia bawa-bawa nama Farel. Apalagi saat dia bilang 'kematian'. Kaya ada yang ganjal dari cara dia bilang satu kata itu. Dan... Kenapa dia harus make kata 'kematian'?

"Enggak, kak. Aku gak mikirin itu lagi kok."

"Oh bagus," ujarnya sambil mengangguk. Aku hanya bisa membalas perkataan Kak Faris dengan senyuman. Kalau udah kaya gini, rasanya pengen pergi jauh-jauh aja dari Kak Faris. Emang bener ya, orang yang banyak ketawa sekalinya marah ngeri.

Kak Faris berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar indomie yang kami pesan. Setelah itu dia langsung keluar tanpa ada ngajak aku. Padahal, mie aku kan belum habis.

"Ayo, Shil. Kamu udah gak mau makan lagi kan?"

Aku mengangguk. Dengan cepat aku berjalan mengikuti Kak Faris dari belakang.

Dia beneran aneh.

***
Di mobil, Kak Faris masih tetap diam. Kalaupun ngomong, dia cuman ngomong sekedarnya aja. Tiba-tiba perasaan bersalah datang padaku. Kenapa? Padahal aku rasa aku enggak ada ngelakuin hal yang bikin Kak Faris kecewa atau apa. Aku tetap mau ngikutin dia kalau dia ngajak aku pergi kemanapun. Aku tetap mau chat sama dia. Aku masih hargain dia sebagai kakak kelas aku. Aku masih aja mau untuk pulang sekolah bareng dia.

Sampai di depan rumahku, dia hanya diam dan gak bukain pintu mobilnya yang terkunci. Aku menatapnya dan aku yakin Kak Faris tau kalau pintunya gak bisa kebuka. Hanya saja dia cuman diam.

"Shil," panggilnya.

"Kenapa, kak?"

"Gimana ya, kalau kita suka sama cewek, tapi cewek itu kaya menjauh dari kita?" tanya Kak Faris dengan tatapannya yang tertuju ke arah depan. "Gue rasanya mau nyerah aja. Usaha gue kayanya sia-sia. Atau gue aja yang terlalu sok akrab ya?" lanjutnya

Secret FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang