Air mata ibu Luki mulai hendak keluar. Rintih suaranya benar – benar menggetarkan jantung.
"Ini kenapa bu?", tanya Deni yang tak percaya dengan kejadian itu.
"Kemarin . . .", kata yang meluncur terputus – putus dari bibir ibu Luki beriringan dengan nada getir yang keluar. Ibu Luki menarik nafas dalam, kemudian berusaha untuk kembali bicara.
"Kemarin sore, kami sekeluarga datang kesini untuk melamar temannya Luki, Sina".
Kata yang keluar dari bibir Ibu Luki seperti hantaman keras yang membentur kepala Deni dan menghujam hatinya dengan sangat dalam. Setiap aliran darah yang mengalir sederas – derasnya membawa luka yang teramat. Mata Deni terbuka sebesar – besarnya. Rasanya dia tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Ketika lamarannya sudah selesai, Luki dan Sina izin kedepan untuk beli minuman. Tidak lama setelah itu . . .",
Tangis kecil ibu Luki yang sedari tadi ditahan akhirnya pun pecah.
"Ada warga dari depan yang berteriak, 'Sina dan Calonnya tertabrak Bus' ".
Seketika Deni yang masih tidak percaya dengan apa yang didengar dari Ibu Luki.
"Ini pasti boongan kan? Tapi muka mayat itu . . . Luki dan Sina", ucap Deni yang masih terus bertanya – tanya.
"Oh ia, kamu sama siapa kesini Den?", tanya Ibu Luki.
Pertanyaan dari ibu Deni menghujam akal sehat Deni. Dia berdiri, melihat kesekitar, kemudian mendekati dua mayat itu perlahan – lahan.
'ini benar Luki dan Sina! Tidak salah lagi!', ucap Deni dalam hati.
Lalu Deni berlari keluar. Kemudian dia melihat – lihat disekeliling berharap ia bisa menemukan sahabatnya tadi.
'Gue kesini sama Luki! Gak mungkin kan Lu nemenin gue kalo lu udah mati!'
Logikanya semakin sakit. Giginya bergerutuk keras. Keringat deras mengalir dari setiap pori – pori kulitnya.
Tanpa lagi sadar dengan apa yang sedang terjadi, Denipun berteriak.
"Luki!!! Mana lu! Jangan ngumpet! Ini udah gak lucu kampret!", teriak Deni sambil terus mencari Luki.
Tak terasa, air jatuh dari mata Deni. Entah apa yang harus dirasakan Deni kala itu.
Sedih karena sahabat yang telah menemaninya selama ini telah meninggalkannya ataukah sedih karena kekasihnya juga pergi. Ataukah marah, karena lagi – lagi wanita yang dicintainya direbut oleh Luki?.
Deni berteriak sekencang – kencangnya. Teriakannya juga semakin tidak karuan seperti orang kerasupan. Orang – orang yang berada disitu mencoba menenangkan Deni. Kakak Luki pun keluar dan mencoba menenangkan Deni. "Deni, den, sudahlah!", tangan kakak Luki menepuk pundak Deni. Kemudian Deni seolah terlempar kedalam ingat hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Kemudian . . .
FantasyKarena cinta yang akan dia ungkapkan membawa semua pada kesimpulan . . .