CYNOSURE 2024
BERSAMA DAFA & TIANA
-
-
-
-Pergi meninggalkan Gilang dengan rasa sakit yang masih tercetak jelas, aku menyusuri taman dengan keadaan yang sangat berantakan. Kedua mataku sembab memerah. Aku masih menangis sesenggukan. Tak peduli dengan orang di sekitar yang menjadikanku pusat perhatian untuk dilihat.
Ini menyakitkan hingga rasanya aku tidak bisa mengatur kapasitas air mata yang keluar. Hatiku remuk hari ini, hancur berkeping-keping. Aku membenci perpisahan dengan manusia. Namun, aku juga sudah bertahan semampu yang aku bisa.
Aku berlari entah tak ada tujuan. Yang intinya, aku sangat ingin meredakan rasa sakit yang sekarang sedang kambuh-kambuhnya. Bahkan dengan sengaja beberapa kali aku memukul dada dengan keras, berharap agar rasa sakitnya sedikit mereda.
"Sakit ... sakit, Gilang! SAKIT SIALAN!!" Aku berteriak membabi buta. Bahkan aku yakin, jika orang-orang di lingkungan sekitar yang aku lewati, pasti tengah menatapku dengan pandangan miris. Seperti melihat manusia gila yang butuh obat penenang.
Aku berlari tanpa memfokuskan pandangan ke depan. Ternyata, hal itu membuatku menabrak seseorang yang mengakibatkan aku jatuh karena hilang keseimbangan. Sialan, hari ini benar-benar hari yang buruk untukku.
BRUKK!!!
Aku terduduk dengan rasa sakit di lutut serta bahu karena menjadi anggota tubuh pertama yang saling bertabrakan dengan seseorang itu. Alih-alih membangkitkan diri, aku justru tetap termenung di tempat. Hariku sudah terlanjur berantakan dan aku juga tidak berniat untuk berekspresi seolah baik-baik saja.
"Kenapa hari ini kacau semua sih? Gak ada satu hal pun yang berpihak sama aku. Kenapa? Sakit banget rasanya, sakit ...." Aku berujar lirih dengan pandangan fokus melihat lututku yang ternyata lecet hingga mengeluarkan darah. Namun, tidak ada sedikit perih pun yang kurasa. Mungkin karena rasa sakit di hati lebih berkuasa saat ini.
Aku merasakan ada seseorang yang juga berjongkok di hadapanku. Sepatu sneakers berwarna hitam putih bertali menjadi pemandangan yang aku lihat saat ini. Aku mengarahkan pandangan dengan perlahan agar bisa menatap sang pelaku. Saat kedua netraku bertubruk pandang dengannya, tangisku semakin meluruh.
"Dafa ... kenapa Daf? Kenapa semuanya terjadi sama aku sih? Aku salah apa Daf? Kenapa dunia gak pernah adil?" tanyaku. Bahkan aku sudah tidak mempedulikan bagaimana penampilanku saat ini. Bagaimana tanggapan Dafa melihatku yang sangat berantakan, aku tidak peduli itu.
Salah satu tangan Dafa terulur menyentuh sebelah pundakku. Dengan gerakan pelan dan menenangkan, dia mengusapnya. "Kalau kamu digigit ular, apa yang kamu lakuin, Na? Fokus buat sembuhin lukanya, 'kan?"
"Hmm?" Aku mewakilkan pertanyaan dengan dehaman singkat. Di situasi yang sedang kacau, aku tidak bisa mencerna kalimat yang Dafa ucapkan padaku. Secara kasar, aku menangkapnya sebagai perumpamaan.
"Kamu cukup fokus buat sembuhin lukanya, Na. Tanpa harus ngejar ular itu dan bertanya kenapa dia ngelakuin itu sama kamu atau terus ngasih penjelasan kalau gak seharusnya kamu digigit sama ular itu." Itu kalimat terpanjang yang pernah aku dengar dari mulutnya sejak beberapa kali kita bertemu.
Aku menatap dia penuh kekaguman. Dafa menunjukkan kepedulian bukan dengan kalimat apa aku baik-baik saja atau tidak. Namun, dia memberikan pandangan lain yang harusnya aku lihat sisi baiknya dari apa yang aku terima.
Kedua tangannya menarikku pelan. Menjadikan dirinya sendiri sebagai penyanggah untuk aku berdiri. Dia tahu jika lututku terluka, karena itu dia memapahku dengan sangat hati-hati. Dafa membawa langkahku untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Mampu untuk menghalau sinar matahari agar tak langsung terpapar ke arah kita berdua.
Perasaanku sudah lebih tenang dari sebelumnya. Napasku sudah kembali normal. Namun, sejak terakhir kali bicara, Dafa belum melontarkan kalimat lagi. Dia hanya diam mengamati keadaan di sekitar. "Makasih banyak ya, Daf."
Dafa mengangguk pelan. Aku tidak terlalu bisa melihat matanya dengan jelas karena topi hitam yang melekat di kepala. Namun, merasakan dari pergerakannya sejak tadi, sepertinya pandangan Dafa tidak diam. "Iya, sama-sama."
"Daf? Tadi kamu sengaja lewat sini atau emang karena kebetulan liat aku makanya ke sini?" tanyaku pelan dengan suara yang masih meninggalkan serak basah.
"Tadinya mau cari makan, tapi gak sengaja liat kamu lagi gak karuan kayak gitu. Kasian anjir diliatin banyak orang. Makanya daripada nantinya kamu malu, yaudah aku samperin aja," jawab Dafa dengan enteng. Bahkan tak ada keraguan sama sekali ketika dia mengucapkan kalimatnya.
Aku membelalak lebar. Setelah sadar, ternyata se-menyedihkan itukah aku? Sialan, padahal sebelumnya tidak apa-apa. Namun mengala sekarang aku mendadak malu? Ah, ini karena kewarasanku sudah kembali. "Ishh Daf! Lagian kenapa sih kamu gak pura-pura aja gak liat aku? Aku nambah malu tau ...."
Dafa terkekeh pelan. Dia mendongakkan wajahnya dan menatapku dengan ekspresi yang sedang mentertawakan. "Bercanda kali. Aku emang sengaja mau pulang setelah cari makan, terus karena terlalu fokus liat hp, makanya gatau ada orang sampe nabrak. Gak taunya itu kamu."
"Taulah! Ih tadinya aku juga mau nyari makan, Daf. Tapi pas di jalan gak sengaja ketemu mantan lagi, eh malah kayak gini jadinya," ucapku melemah. Karena perkara dengan Gilang, aku sampai melupakan tujuanku untuk membeli makan. Bahkan saat ini tubuhku sangat lemas dan tidak bertenaga. Aku belum makan nasi!
"Mau magrib bentar lagi, Na. Pulang gak?" tanya Dafa dengan tiba-tiba. Karena ucapannya, aku sontak menatap ke sekeliling area. Memang langit hampir gelap ternyata. Bahkan mentari pun mulai pamit dari tempatnya.
Aku mengangguk tanpa ragu. Perlahan bangkit meskipun dengan langkah yang tidak seimbang. Aku sangat merasa lapar sekali, tapi sudah terlanjur tidak selera untuk mencari makan. "Pulang Daf. Kamu pulang juga?"
Dia memangut pelan seraya langsung membangkitkan diri dari posisi. Mengambil kantong kresek berwarna putih yang dia bawa sebelumnya. Setelah itu kembali menatap ke arahku. "Mau beli makan dulu gak?"
"Enggak deh, aku udah gak mood nyari makan. Di rumah juga ada stok indomie, nanti makan itu aja." Itulah opsi terakhir untuk mengisi perut. Lagian jika dengan kondisi yang seperti sekarang ini, rasanya sangat malas menyantap nasi.
"Oh yaudah. Ayok pulang, aku anter kamu ke rumah," ujar Dafa tanpa aba-aba lebih dulu. Tentu saja tawarannya yang spontan begitu membuatku amat sangat terkejut. Akan tetapi, mengapa lagi-lagi dia sangat terlihat santai sekali? Aku tegaskan sekali lagi, dia sangat terlihat santai.
"HAH?" Aku hanya bisa membeo di tempat. Kenapa makhluk Tuhan yang satu ini sangat tidak mudah ditebak ya. Setiap pergerakannya dan kata-kata yang terlontar dari bibirnya sangatlah tidak terduga.
****
"Ternyata, luka dan obat itu selalu datang secara berdampingan ya? Aku yang patah hari ini, tapi kamu yang juga datang untuk menyembuhkan." -Cynosure 2024.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
CYNOSURE (On Going)
Poetry[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM EVENT WRITING CHALLENGE 50 DAYS YANG DILAKSANAKAN OLEH LENTERA BOOK'S] Patah hati membuatku mati rasa. Kehilangan bisa menciptakan ketidakpercayaan akan cinta. Tak diberi waktu untuk menunda rasa, tetapi terjeda akib...