4 : "Berhenti Menghukum Diri!"

44 5 5
                                    

Matahari musim semi menghangati seluruh tubuh yang berada di stasiun. Ya, aku di stasiun pagi ini sejak pukul tujuh dan sekarang sudah satu jam berlalu. Aku memasukkan dua kotak yogurt ke dalam ransel punggung Seulgi.

“Untungnya aku punya dua kotak, kalian bisa berbagi.” Aku tersenyum kepada Seulgi dan Sungjae secara bergantian.

“Doakan yang terbaik, ya!” Seulgi memelukku.

Aku mengusap beberapa kali bagian belakang punggungnya, “Doa terbaik untukmu dan keselamatan untuk kalian berdua.”

Kaca yang membalut bola mata Seulgi pecah dipipinya, aku ingin menemaninya menangis namun aku berusaha menahan diri. Aku harus menjadi penguat di sini, di tengah situasi ini.

Sungjae mengulurkan tangannya lalu menuntun Seulgi, keduanya bersama-sama memasuki gerbong kereta. Kelihatannya Sungjae sangat menjaga Seulgi, jadi aku tidak perlu khawatir.

Seorang pemuda memberi instruksi melalui speaker. Setelahnya, kereta di hadapanku akhirnya perlahan melintas—membawa pergi jauh Sungjae dan Seulgi-ku. Kedua lututku rasanya mendadak kosong, aku ingin ambruk saja di lantai stasiun. Wajahku basah, itulah air mata yang sejak tadi kutahan.

                                                      🌱🌱🌱

Tersisa satu hari lagi. Aku gelisah di antara rasa tidak sabar dan cemas. Aku ingin hari ini berakhir dan menjemput hari esok supaya aku dapat berada di sisinya. Akan tetapi, aku pun cemas akan apa yang terjadi pada hari esok. Tanpa alasan yang pasti, bagian dadaku terasa perih. Terbesit dalam pikiran bahwa rencana besok akan berubah menjadi angin.

“Tidak!” aku mengusir pikiran mengerikan itu jauh-jauh dari kepalaku. Aku coba memejamkan mata sejenak sambil mengambil lalu membuang udara dengan perlahan. Aku merasa sedikit lebih baik. Senyumanku terpantul dicermin rias kamarku.

Cacing-cacing diperutku hampir setiap malam mendorongku menuju dapur. Aroma ramyun menari di udara—memenuhi kamar tidurku, tepat pukul sepuluh malam. Aku meletakkan semangkuk ramyun di atas meja belajar yang memang sering kali kujadikan juga sebagai meja makan.

Ponselku bergetar sebelum aku berhasil menyumpit ramyun.

Oh, Seulgi!

“Seoul sangat ramai!” suaranya terdengar ceria. Sangat.

“Kedengarannya menyenangkan.” Aku menjawab acuh tak acuh, itu karena aku kurang tertarik dengan apa yang Seulgi beritahu padaku sekarang.

“Kau yakin itu terdengar menyenangkan bagimu, uh?”

Aku tetap mengulas senyum di tempatku duduk walaupun Seulgi tidak dapat melihatnya. Anak itu rupanya terlalu memahamiku.

“Kau bilang kau tidak suka tempat yang bising. Jika kau kesini, aku yakin pelangi dikepalamu itu akan berubah menjadi hitam pekat!”

“Ck, kau coba melucu, ya?” dan, aku mulai menyeruput gulungan ramyun pertamaku. Sslurrrppp~

“Tidak. Tapi aku benar, kan?”

“Begitulah.” Kami tertawa ditelepon.

“Setidaknya, teruslah menulis cerita di Boseong yang dipenuhi ketenangan. Bawalah cerita luar biasamu itu ke sini supaya orang-orang di Seoul sibuk membaca ceritamu.”

Perkataan Seulgi sangat menyentuh hatiku. Aku meletakkan sumpitku, berhenti makan.

“Bomi-yaa, terima kasih karena selalu percaya bahwa aku mampu. Kau tahu? Aku juga percaya hal itu padamu. bahkan aku tidak hanya percaya kau mampu menjadi seorang penulis terkenal melainkan juga seorang bintang dari Korea Selatan jika kau mau. Sayangnya kau tidak menginginkannya. Kau memiliki mimpi yang berbeda denganku.”

Hello, 안녕 {윤보미 x 김재현}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang