5 : "Tersapu Angin"

35 5 6
                                    

Berhenti menjadi naif.

Seiring bertambahnya usia aku tidak ingin lagi menjadi seseorang yang naif, itu karena aku benci menjadi seseorang yang banyak tidak tahunya dan terlalu malu dalam berbagai hal yang pada akhirnya hanya menyisakan rasa penyesalan yang begitu besar.

Semerbak angin pagi mengangkat rok-ku, aku berlutut di tanah sambil memetik tomat-tomat dan memenuhinya ke dalam keranjang rotan. Aku menatap intens tomat merah yang kini dalam genggaman tanganku, aku mengulas senyum. Saat itu pikiranku sedang berputar—hatiku merasa jauh lebih ringan ketika apa yang diinginkan benar-benar aku lakukan. Hatiku sangat ingin menghibur Jaehyun dan aku berhasil coba menghiburnya walaupun hasilnya tidak sesuai harapanku. Bukan masalah kok.

Satu hal yang pasti : tak peduli bagaimana akhirnya jika mengikuti suara hati maka tak ada yang namanya menyesal, percayalah.

Ibu sedang mengaduk masakannya ketika aku memberikan hasil tomat-tomat petikkanku.

Aku mengambil satu dan menggigitnya, “Apakah ibu keberatan melihatku yang hanya membuang waktu di kamar?”

Ibu meliriknya dan tersenyum kecut—“Ck, seseorang mencibirmu, eh?”

“Tidak, aku hanya merasa bahwa diriku ini tidak berguna.”

“Kalau tidak berguna, mana mungkin kau membuat ibu merasa terbantu di dapur.” Ibu memadamkan api lalu menuang sayuran yang telah dimasaknya ke wadah. “Tomat-tomat di keranjang itu ‘kan buktimu membantu ibu.” lalu, ibu tersenyum kepadaku.

Kalimat ibu barusan membuat hatiku menghangat seperti tubuh yang berjemur di bawah matahari pagi.

“Ibu maaf. Aku hanya tidak bisa membayangkan sebuah pekerjaan selain menjadi seorang penulis.”

“Jika begitu, berjuanglah supaya kau berhasil meraih profesi itu. Mengerti?!”

Aku berjalan memasuki kamar dengan perasaan bahagia. Kalimat dari seorang ibu terdengar begitu sederhana akan tetapi rasanya berjuta kali lipat membahagiakan bila mendengarnya tulus dari dasar hati. Aku menyayangi ibu dan ayah yang berjuang untuk kelanjutan hidup keluarga kecilnya.

                                                  🌱🌱🌱

Belum banyak yang bisa kulakukan, tahu-tahu waktu semakin jauh meninggalkanku. Saat itu aku tersadar bahwa bumi akan terus berotasi tanpa peduli kau sudah melakukan sesuatu yang berarti atau sebaliknya. Hidup berkualitas itu ada pada tiap tangan manusia, kita yang memegang stir.

Beberapa hari lalu ibu menyangkal pikiranku sendiri yang merasa tidak berguna. Meski begitu, aku tetap merasa seperti itu. Terlebih jika aku tetap berteman dengan Seulgi yang sekarang telah sibuk sebagai seorang trainee di Seoul yang megah.

Belum lagi ada berita mengejutkan—aku ikut senang namun inilah yang menambah pikiranku, melabelkan diriku sendiri bahwa aku tidak berguna, adalah Sungjae. Lelaki itu membuat seorang produser dari salah satu agensi di Seoul tertarik untuk merekrutnya sebagai trainee. Mengagumkan!

Jadi, inilah aku. Perempuan berusia dua puluh tahun yang masih sibuk berkencan semu dengan imajinasi. Hampir setiap hari aku bersarang di kamar, bergelut di depan komputer tua, dan waktu yang cukup menyita itu belum mampu menjadikanku sebagai seseorang yang terpandang. Aku masih menjadi penulis di kamar tidurku sendiri.

“Bomi-yaa?” suara ibu terdengar.

Pandanganku kini beralih ke ambang pintu,

... “Uh?” ibu berdiri di sana.

“Jaehyun ingin bicara denganmu.”

“Jaehyun?” seketika mataku terbelalak. “Di mana dia?”

Hello, 안녕 {윤보미 x 김재현}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang