(12) Mengungkapkan

95 13 7
                                    

Ketika kelopak mata terbuka, pemandangan yang tersaji di hadapan ialah langit-langit rumah. Ingatanku masih belum pulih saat ini, tubuh pun masih belum bisa digerakkan sepenuhnya. Aku merasa otot yang masih bekerja mungkin hanya untuk berkedip.

Terdengar langkah kaki serta seruan Hedar kepada seseorang, "Kak Tesya. Kak Galang udah bangun!"

"Syukurlah." Bergegas Tesya meninggalkan olahan makanan di dapur dan menghampiri kamar tempatku tertidur.

"Yo! Tesya!" sapaku kepada Tesya yang duduk bersimpuh di samping kasur tanpa ranjang.

"Gaza ... gimana keadaan kamu?" tanya Tesya yang mengenakan celemek.

Badan ini kudorong sebisa mungkin agar tegerak dari tidur menuju posisi duduk. "Ya, lemes aja." Entah mengapa, malah di situasi ini aku merasa tidak bisa berkata-kata.

Kok, udah kayak suami istri yang baru tinggal serumah sih?

"Kak Galang! Kakak kalah. Bos Torik masih berdiri setelah Kakak pingsan," celetuk Hedar meringankan suasana.

"Hahaha. Nggak papa, nggak usah diperjelas. Kakak, nggak ada maksud buat menang juga dari duel-duelan itu." Tangaku refleks menyentuh wajah, "Aduh-du-duh." Lalu kembali berbaring.

"Gaza, sebaiknya kamu jangan banyak gerak," saran Tesya berusaha menyentuh pundakku, tetapi ragu.

"Oh iya, gimana caranya aku bisa di sini? Kemana Torik? Udah berapa lama aku nggak sadar?" tanyaku yang sudah kembali terbaring.

"Kak Tesya yang minta langsung ke Bos biar bisa ngerawat Kakak. Bos Torik sendiri yang ngegotong Kakak ke sini. Udah gitu, cuma 4 jam aja Kakak pingsan," jawab Hedar.

"Ouh .... Hah?!? 4 jam?" tanggapku terkejut dan kembali terbangun. "Nggak mungkin cuma 4 jam luka di tubuhku udah hilang. Mana lebam-lebamnya nggak ada lagi. Apa ada dokter yang ngerawat?"

"Oh nggak ada. Kak Tesya doang yang ngerawat," balas Hedar.

"Pst! Hedar!" cetus Tesya seraya memasang wajah yang mengisyaratkan agar Hedar keluar.

"Oh, oke."

Saat ini, hanya ada kami berdua saja. Bersama dengan wanita yang setahun lalu aku temui dengan sikapnya yang aneh. Rupanya, sikapnya tidak jauh berbeda, keanehannya masih terus belanjut. Karena setelah ia menutup wajahnya dengan telapak tangan kanan, tiba-tiba saja ia menyentuh kedua pundakku dengan mata terpejam, mengkerucutkan bibir, dan jarak antara wajahnya dengan muka tampanku kini hanya 5 cm.

"Eumm ... huft. Maaf. Bukannya nggak pengen nih yah," ucapku setelah menghalangi bibirnya yang lembut dengan tanganku yang kasar. "Kita mestinya mulai dari kenalan baik-baik, naruh kepercayan satu sama lain, barulah mungkin cinta bisa tumbuh, dan di sana kita bisa melangkah ke step ini. Bukannya sok good boy, bahkan bisa aja aku berbuat lebih dari ini, apalagi di kamar tinggal berdua. Tapi, sebaiknya kamu lebih menghargai dirimu sendiri sebagai wanita," ujarku bersikap tenang. Padahal, hati ini bergetar hebat dengan guncangan 9.0 skala richter.

"Awu wlwkauin bwuhan werarti ahu cwekh wuwahan," gumam Tesya terdengar sangat tidak jelas.

"Oiya lupa. Maap," ucapku yang baru sadar masih menutup mulutnya dengan tangan.

Tesya kembali bersimpuh di dekat kasur. "Euummm ... aku ngelakuin ini bukan berarti aku cewek murahan."

"Lah terus? Buat apa? Main nyosor aja. Seenggaknya biarin aku makan permen mint dulu. Takutnya kamu nggak tahan sama baunya. Udah setahun soalnya nggak sikat gigi," candaku menanggapinya.

"Eump ... ini untuk kesembuhan kamu," jawab lurus Tesya.

"Hah? Nyembuhin lewat ciuman?"

"Ya. Kalau langsung bersentuhan, bakal lebih cepet kamu pulih. Aku nggak punya cukup kekuatan untuk nyembuhin kamu kalau ada jarak," jelasnya.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang