(14) Menjemput

88 11 14
                                    

(POV 3)

Tesya sama sekali belum berpindah dari ayunan sejak sore tadi. Memandang langit malam, bertabur bintang. Gemerlap cahaya di ujung pandang, membuat Tesya tidak ingin segera memejamkan mata. Terlebih pikirannya sedang dipenuhi oleh seseorang, hingga kelopak mata belum ingin berpelukan erat.

"Eummmm ... Gaza," gumamnya sambil menggoyangkan tali ayunan.

Terdengar suara langkah kaki bergesekan dengan rumput. "Kak Tesya, belum tidur?" tanya Hedar di belakangnya.

"Duh Hedar! Ngagetin aja," tegur Tesya menengok ke belakang.

"Hehe ... lagi mikirin kak Galang yah?" singgung Hedar ikut duduk di ayunan.

"Ish! Anak kecil sekarang pada nggak sopan," sindir Tesya. "Kenapa kamu belum tidur?"

"Udah tadi. Cuma kebangun gara-gara ... mimpiin orang tua."

Tesya bertanya, "Oh. Kalau Kakak boleh tahu, orang tua kamu kayak gimana?"

"Ibuku, ibu rumah tangga, ayah jadi pilot. Cuma, akunya nakal. Jadi ibu sering keras sama aku. Sedangkan ayah baik banget. Tapi, kita jarang ketemu. Tadi aku sempet mimpiin ayah, kalau ayah habis pulang dari luar negeri. Katanya dia selamat karena terbang di udara," ujar Hedar. "Kalau Kak Tesya, orang tuanya kayak gimana?"

"Kalau Kakak dulu berpikir nggak punya orang tua. Tapi, tadi sore ... Kakak tiba-tiba inget siapa mereka. Hanya saja, ingatannya masih samar," jawab Tesya. "Siapapun mereka, yang penting sekarang ini Kakak bersyukur banget dapet keluarga baru kayak kalian."

"Tapi, kan di sini orangnya jahat-jahat. Kak Tesya nggak nyesel diem di sini gitu? Kalau Hedar mah nyesel ikut Bos Torik. Tadi aja, udah dianterin banyak buah hasil panen kita, masih aja sering ditindas sama mereka," sesal Hedar.

"Rasa penyesalan tetep ada. Kakak juga nggak mau diem di kerajaan aneh ini. Alasan masih diem di sini, karena ada pohon yang harus dicari. Mungkin karena buta arah, jadinya nggak pernah ketemu. Alasan lain Kakak masih diem di sini dan nggak ikut pemerintahannya Wirda, karena letak pohonnya ada di kota ini. Tapi, nggak tahu di mana," ujar Tesya. "Tapi untungnya, pohon itu udah ketemu, bahkan nyamperin sendiri ke sini," jawabnya dengan senyuman.

"Hah? Pohon bisa pindah gitu?" Hedar memasang wajah bingung.

"Bukan pohonnya. Tapi, isi dari pohonnya, hihi," jawab Tesya cengingisan.

"Ah, Hedar nggak paham."

Ketika asik berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh tak jauh dari lokasi mereka. Entah mengapa, Tesya bisa merasakan di mana lokasi pastinya, akan tetapi hatinya kini diliputi oleh rasa tidak nyaman. Langkah pelan dan hati-hati mereka ayunkan, untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjatuh dari langit. Raut wajah terkejut mulai terpampang di wajah Hedar, karena 'seseorang' yang jatuh dari langit tersebut sangatlah familiar di ingatannya.

"Jangan!" cegah Tesya ketika Hedar mencoba lebih mendekat. "Kakak punya perasaan nggak enak soal ini." Mereka pun menjaga jarak 15m.

"Tapi, Kak ... aku tahu siapa dia, dia ayah aku!" ujar Hedar menunjuk jasad yang masih lengkap mengenakan seragam pilot.

"Bukan. Itu bukan ayahmu lagi," balas Tesya soal Ayah Hedar yang tidak bergerak sama sekali di hamparan rumput. "Lihat aja! Apa ada manusia yang punya sayap?"

Hedar tertegun dibuatnya. Tesya menuntun Hedar dengan genggaman erat.

"Untuk sementara, kita lapor dulu ke Bos Torik dan kak Galang, ya?" saran Tesya.

"Iya," jawab Hedar dan akhirnya mereka berdua pun berbalik.

"Hedar! Hedar putra ayah kan?" tanya dari ayah Hedar yang kini sudah berdiri dan sayap putih di punggungnya terlipat.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang