(09) Sendirian

127 13 12
                                    

Malam sebelum 'ledakan pikiran' terjadi.

"Makasih, Rik!" ucap Wirda sesudah diantar oleh Torik menggunakan motor vespanya.

"Sama-sama." Torik memutar balik arah motor.

"Langsung pulang? Nggak mampir dulu?" tawar Wirda.

Torik meringis. "Heh! Dikatain apa entar sama ortu lu, tengah malem bawa temen berandalan? Dah, gua balik dulu!"

Ada istilah mengatakan bahwa ibu kota tidak pernah tidur. Walau sudah tengah malam, jalanan tidak pernah sepi dengan kendaraan dan pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar. Laju arah motor Torik dibelokkan ke jejeran para penjual makanan, untuk mengisi perut kosong dengan nasi goreng langganannya. Malam itu, tukang nasi goreng memasang setengah harga hanya untuk Torik.

"Nih Rik! Sekalian bawa, buat anak-anak!" Tukang nasi goreng itu memberikan, dua bungkus lagi secara cuma-cuma.

"Yampun, Mang Adi. Udah mah dikasih setengah harga, malah dikasih lagi. Jadi asa ngerepotin," tanggap Torik malu.

"Udah! Ambil aja, buat anak-anak di pabrik. Nggak kayak yang lain, anak buah kamu mah baik-baik. Suka nolongin orang. Kemarin aja ada mobil mogok, mereka bantu dorong sampai bengkel. Mang Adi lihat sendiri," balasnya.

"Yaudah. Saya terima. Makasih yah, Mang," ucap Torik. Ia pun menggantung bungkusannya di motor.

Ketika mulut Torik sedang asik mengunyah butiran nasi berwarna cokelat, tiba-tiba melintas empat unit mobil pemadam kebakaran menuju bekas pabrik terbengkalai yang dihuni olehnya. Sebuah bangunan tua yang dihuni oleh para gelandangan, dari anak muda hingga orang dewasa.

Tersisa setengah piring nasi goreng yang buru-buru ia tinggalkan di atas meja, karena khawatir jika mobil pemadam kebekaran itu benar menuju pabrik.

"Nggak. Nggak mungkin."

Asap tebal sudah mengepul tebal, warna hitam asap menyatu dengan warna langit ketika jarak antara Torik dengan pabrik tinggal 100 m lagi.

"Bang Torik!" seru seorang anak kecil mencegat Torik di tengah perjalanan.

"Asep?"

"Ya, Bang. Rumah kita, Bang. Tiba-tiba kebakar," jelas Asep dengan wajah seorang anak yang baru saja kehilangan rumah.

Tanpa lama-lama, Torik pun membawa Asep.

Api merah sudah melahap tiga perempat bangunan, ketika motor Torik tiba di halaman pabrik. Bahkan setengah atapnya sudah roboh, bersatu dengan lantai. Tangis sedu dari orang-orang pinggiran yang kehilangan satu-satunya tempat bernaung, bercampur dengan suara gemertak api yang berkobar hebat. Api ganas setinggi 10 m itu menelan kasur butut, kain-kain bekas, serta barang bekas lainnya yang selama ini mereka kumpulkan, untuk bertahan hidup dan melewati dinginnya malam.

Banyak para penghuni pabrik berusaha membantu pemadam kebakaran dengan membawa air dengan ember, galon, dan plastik besar, bahkan mereka pun mengeruk air dari selokan. Segala upaya untuk memadamkan api yang terlanjur besar, seolah sia-sia. Kerumunan warga yang terbangun oleh sirine pemadam kebakaran, turut keluar rumah untuk mengabadikan momen langka tersebut menggunakan ponsel pintar.

Torik menghitung ada 34 orang dari penghuni pabrik telah keluar. "Pak Uteng!?" Di mana Pak Uteng?!?" tanya Torik menjadi setelah menyadari orang ke-35 tidak ada.

Untungnya, seorang pria dewasa yang sedang sakit, sempat diselamatkan oleh pemadam kebarakan. Rupanya ia terjebak di toilet saat kebakaran berlangsung. Walau tidak ada korban jiwa, tetapi apa yang dirasakan Torik saat itu adalah kehilangan yang luar biasa.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang