(11) Duel

104 12 0
                                    

Sekitar dua ratus- bukan, mungkin lima ratus orang –aku tidak tahu jumlah pastinya– berkumpul di lapang, mengelilingi Torik yang berdiri di atas mobil. Di pagi yang cerah ini, Torik malah mengatakan hal aneh, bukannya terlebih dahulu memberitahu soal makhluk yang menyerang kami, hingga harus kehilangan nyawa rekannya, ia malah mengangkatku menjadi raja di sini.

Awalnya aku sama sekali tidak ingin keluar dari mobil, tetapi Torik memaksa dan menarik kausku hingga sobek. Ketika berdiri di hadapan mereka, aku pikir mereka akan langsung tunduk padaku.

"Hahahahah!!! Anjir, orang kurus kayak dia jadi raja?"

"Walau dulu youtuber dipuja-puja, sekarang jangan harap deh!"

"Jir, kebayang waktu lu ngomong sama rakyat, 'Hallo guys, Raja di sini!' Hahaha, ngakak, njir."

Begitulah memang seharusnya reaksi mereka, mana mungkin aku bisa memimpin kaum bar-bar binaan Torik.

"Orang baru kayak gini langsung jadi raja? Tanpa duel?" tanya dari salah satu kerumunan tukang ledek. "Sebenernya bisa sih dia jadi raja. Asal kalahin dulu bos Torik di depan mata kita."

"Duel! Duel!! Duel!!!" Sontak semua orang menyoraki kami untuk berduel.

"Yah, nggak bisa langsung main tunjuk emang. Duel harus tetap dijalankan." Torik memberikan kunci mobil ke salah seorang pelayannya. "Parkirin ini di basement!"

"Rik! Gua gak ngerti maksud lu kayak gini buat apa?" tanyaku di tengah sorakan untuk berduel semakin kencang.

"Lu pengen keluar dari sini, kan? Ya ini satu-satunya cara buat keluar. Lu mesti jadi rajanya," jawab Torik seraya mengeluarkan pedang dari sarungnya dan menancapkannya di hadapanku, di lapang beton parkir.

"Makin nggak ngerti. Seribet ini kerajaan lu. Yakali cuma mau keluar dari sini harus jadi raja-rajaan. Nggak jelas lu!" cemooh dari mulutku.

"Ini bukan kemauan gua!" bentak Torik hingga membuat suara sorakan meredam. "Ini soal kesepakatan gua sama pemerintahannya Wirda."

"Hah? Wirda?"

"Kita udah sepakat buat bagi wilayah dan orang-orangnya. Jika ada satu aja orang dari tempat si Wirda datang ke gua, dia harus mati. Gitu juga sebaliknya. Kecuali, yang datang rajanya sendiri," jelas Torik seraya mengepal erat tangannya.

"Yaelah si Wirda doang. Lu kan raja di sini, tinggal anter gua ke sana. Ribet amat."

"Walau gua anter, tetep lu bakal di tembak mati sama pasukannya," sanggahnya pelan.

Aku mendekat dan berteriak, "Ada apa sih di antara kalian hah?!? Belaga bikin kerajaan-kerajaan kayak bocah! Sesetres ini 'kah kalian ditinggal sama orang dewasa, hah? Berantem mulu tiap harinya!"

Badanku terpental ke belakang setelah menerima tendangan Torik, yang tepat mendarat di perutku. "Wasit mana?!? Siapa aja boleh! Duel tanpa senjata dah dimulai!"

"Woaahhhhh!" gemuruh sorak semarai mulai membara di antara para penonton, karena pertunjukan kekerasan ini sudah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Tubuh ini berusaha bangkit dengan tangan memegangi perut. "Hum, haha, hahahaha. Jaman sekarang kalau jawab pertanyaan pake kaki rupanya."

"Nggak jago gua ngejelasin sesuatu. Gua jagonya maen bogem sama nendang. Karena bagi gua, bogem lebih efektif daripada bacot," tanggap Torik yang sedang melompat-lompat ringan bermaksud pemanasan.

Walau tubuh ini sudah sepenuhnya berdiri, tetapi rasa sakit di perut seolah membuat jaringan ototku kaku. Serangan tadi sebenarnya sudah cukup untuk mengalahkanku. Sama sekali tidak ada celah untuk mengalahkan Torik yang berperawakan kekar dan mempunyai modal tarung jalanan, dan juga tempat ini hanyalah hamparan beton, tidak ada benda lain untuk membantuku bertarung, bahkan setumpuk debu untuk mengalihkan pandangan lawan saja tidak ada. Akan tetapi, aku akan mengulur pertarungan ini dengan terus berbicara, lalu mencari celah untuk menyerangnya.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang