(16) Yang Tersisa

88 9 8
                                    

"Gaza? Kamu lagi apa?" tanya Tesya kala melihatku memukul-mukul wajah dengan telapak tangan.

"Sembuh! Sembuh! Gua mohon Sembuh!" gumamku terus menerus.

"Nggak papa. Nggak usah maksain. Mungkin ini konsekuensinya, biar aku bisa bernapas sekali lagi," ucap Tesya.

Kami berdua masih di dalam bungkusan tanaman yang terbelah. Tesya masih terduduk lemah, sedangkan aku duduk berlutut di sampingnya.

"Kenapa nggak bisa? Padahal aku dah niruin caramu make kekuatan ini," tanyaku heran tertunduk lemas.

"Hemm, kamu niruin aku kayak gini?" tanya Tesya seraya menghadapkan telapak tangannya ke wajah. "Itu bukan tata cara makenya. Gimana yah? Itu hanya semacam penghormatan aja. Menghormati seseorang yang ngasih aku kekuatan ini. Nggak lebih."

"Lah, terus cara make kekuatan ini kayak gimana?"

"Kamu bisa menumbuhkan tanaman, hanya cukup dengan fokus dan merasakan bekas kehidupan yang ada di dalam tanah. Entah itu benih, hanya sebatang pohon mati, daun kering, atau hanya segenggam tanah yang ada bekas akarnya. Kalau untuk kekuatan penyembuhan, kamu cukup membagi energi kamu ke orang yang ingin kamu sembuhin. Jika merasa energi kamu nggak cukup, bisa lewat sentuhan langsung," jelas Tesya.

"Oke." Aku pun mencium kakinya.

"G-gaza! Nga-ngapain?!? Udah cukup!" Tesya memang tidak bisa menggerakkan kakinya, tapi ia berusaha mendorong kepalaku dengan tangan agar menjauh.

"Aku bakal terus berusaha agar kaki kamu bisa gerak lagi."

"Aku dah nerima keadaanku yang kayak gini. Ada yang emang nggak bisa dilakukan sama kekuatan itu. Kayak menumbuhkan anggota tubuh yang udah putus. Mungkin kekuatan itu juga nggak bisa nyembuhin kelumpuhan," sanggah Tesya.

Aku tidak menghiraukan omongannya, dan hanya terus menerus menciumi kaki, dari mulai ujung kaki hingga ke atas lututnya, baik yang kiri atau yang kanan.

"Udah Gaza! Aku malu. Kumohon."

Aku pun berhenti, seraya melihat ke arah wajahnya yang memerah serta enggan untuk balik menatapku. "Kekuatan ini nggak ada batasan. Kekuatan ini bisa mengembalikan mayat, bahkan yang udah jadi tulang belulang hidup kembali."

Torik yang berdiri di samping tanaman, menginterupsi pembicaraanku. "Bentar, Lang! Gua potong dulu kelakuan mesum lu."

"Mesum dari mananya?!? Ini buat nyembuhin kaki Tesya!" sanggahku.

"Ya serah lu. Gua cuma penasaran, tadi lu nyinggung soal manusia yang udah jadi tulang belulang. Jadi, lu tahu siapa yang ngehidupin lagi anak-anak sini?" tanya Torik.

"Yah. Gua tahu. Tesya yang ngehidupin lagi anak-anak sini," jawabku pelan. "Tapi, Tesya nggak tahu apa-apa soal ini. Kekuatannya juga dah pindah ke tubuh gua," sambungku sebelum Tesya menyangkal.

Torik sempat terkejut dan mundur selangkah dari posisinya berdiri.

"Dia cuma dimanfaatin dan dipaksa menggunakan kekuatan maksimalnya untuk membangkitkan tubuh yang udah mati di kota ini," sambungku.

"Jadi, kalau pun ada orang dewasa yang tubuhnya masih ada di kota ini, bisa aja orang dewasa itu hidup lagi?" tanya Torik.

"Hah. Maksud lu?"

"Terus, siapa yang manfaatin kekuatan si Tesya?" tanya Torik.

"Orkanois," jawabku. "Dia ngerencanain sesuatu. Gua nggak tahu, niatnya buruk atau baik. Maksa kita sebagai remaja hidup kembali dari kematian."

"Ehem!" sela Tesya meminta perhatian. Ia menyuruh kami untuk melihat sekitar.

Ternyata Sasa juga turut mendengarkan obrolan kami. Bersama remaja yang tersisa dan beberapa anak dari gedung kedua sudah berkumpul di dekat sini. Tercengang, adalah rata-rata dari ekspresi mereka, setelah setidaknya mendengar sedikit pembicaraanku dengan Torik. Beberapa anak merasa mual, karena melihat banyak sekali jasad mati bertebaran di mana-mana.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang