Kami pulang pukul 11 malam dengan setruk pembayaran di tanganku, ya aku yang mentraktir mereka, karena merasa bersalah telah mengacaukan perkumpulan tadi di kafe. Wirda diantar oleh Torik menggunakan motor vespanya ke perumahan berjarak 3 km. Avines pulang dengan Hilya ke kosannya di ujung jalan ini. Sedangkan aku, hanya memesan ojek online untuk pulang ke rumah.
"Galang, ojeknya belum dateng?" tanya Hilya.
"Bentar lagi, kalian duluan aja," jawabku.
"Yaudah Bro, ente hati-hati," kata Avines sambil memasangkan helm kepada Hilya.
"Yo, makasih. Lu langsung balik?" tanyaku.
"Nggak. Ane kebagian piket tengah malem di komunitas. Senior-senior bangsat itu sukanya ngasih jadwal seenaknya ke junior," jawab Avines kesal.
Setelah dua menit mereka pergi, tukang ojek pun tiba dan mengantarku. Tidak butuh waktu lama dan hanya membayar lima ribu rupiah saja, aku sudah sampai di depan rumah yang terletak di perumahan elit Rumah Syurga. Rumah dua tingkat dengan cat kuning pastel, memiliki 4 kamar tidur, satu ruang tamu, ruang keluarga, dapur luas, dan 3 kamar mandi.
Malam itu ada yang aneh, biasanya lampu di dalam ruang tamu tidak akan menyala ketika lebih dari jam 9 malam. Namun, setelah aku menyerahkan helm ke tukang ojek, aku menyadari bahwa lampu itu menyala, cahayanya terlihat dari luar jendela.
Ketika aku membuka pintu.
"Oh, lagi kumpul keluarga ya? Tengah malem gini," ucapku santai sambil melewati mereka, berniat langsung menuju kamar.
Di kursi ruang tamu aku melihat ayahku, pak Tura, seorang kepala detektif kepolisian dan dia masih mengenakan seragamnya. Ia seketika berdiri ketika aku dengan dingin melangkahkan kaki. Aku juga melihat ibuku yang entah mengapa hanya menutupi wajahnya. Akhirnya ia pulang juga setelah dua minggu pergi -bilangnya- ke rumah nenek. Lalu, aku melihat remaja SMA berparas cantik dengan pakaian tipis terbuka, memamerkan ketiak dan paha, seraya merebahkan tubuhnya di sofa, dan terlihat sangat acuh sambil memainkan ponsel pintar. Ia adalah adikku, Sasa.
"Gaza! Mau sampai kapan kamu kayak gini?" tanya ayah.
"Sampai kalian menghilang dari dunia ini," timbalku acuh dan melanjutkan langkahku menaiki anak tangga.
Ngomong-ngomong, nama asliku Gaza Erlang, disingkat jadi Galang.
"Gaza! Bapak mohon, ke sini dengan baik-baik. Ada yang mesti Bapak omongin."
Aku hanya menggurutu kesal dalam hati dan berbalik. "Apa?!?"
Melihat raut wajahku yang terlihat sangat kesal, ia membelokkan arah pembicaraannya. "Gaza, apa nggak ada sedikit pun rasa maaf untuk, Bapak?"
"Ini yang mau diomongin? Basi!" tanyaku ketus.
"Bukan, tapi ...."
"Kemaren kan kita udah kerjasama buat nangkep monster. Itu artinya nggak ada masalah kan?" tanyaku seraya mendekati mereka.
Ayahku mulai tenang dan berkata, "Begini, yang mau Bapak omongin. Kasus 'Orkanois' ini sangat-sangat berbahaya, jadi kamu nggak usah–"
"Tenang aja. Nggak usah diminta berhenti juga, Gaza udah nggak tertarik," potongku walau aku berbohong mengenai itu. "Udah kan? Gaza cape, mau ke kamar," pintaku sambil berbalik.
"Bukan itu yang mau diomongin Bapak. Tadi, kita habis ngobrol kalau sebenernya dua tahun lalu mamah ketahuan selingkuh," ucap adikku hingga akhirnya ibu membuka wajahnya yang ia tutupi dengan tangan. Terlihat ekspresi kacau dengan linangan air mata terpapar di raut wajahnya.
"Dua tahun lalu, Bapak cuma ngalah aja di pengadilan, dia nggak mau keluarga ini tercemar nama baiknya. Jadi, nawarin perceraian dengan alasan kalau Bapak nggak nafkahi keluarganya. Eh malah hak asuh kita jadinya jatuh ke mamah," jelas adikku masih dengan posisi santai rebahan di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)
AcciónBlurb : Membenci orang tua sudah menjadi rahasia umum bagi remaja. Namun, apa jadinya jika pada suatu hari, para remaja terbangun dan menyadari bahwa seluruh orang dewasa di atas 20 tahun menghilang dari Bumi. ...