(07) Buah-Buahan

215 23 6
                                    

Kegembiraan sesaat yang tergambar pada raut wajah dari 455 anak yang berkumpul di lobi hotel ini, menjadi matahari di malam hari yang sedikitnya membuat hatiku hangat. Tesya yang rambutnya kini sepunggung, membagi dengan rata buah-buahan yang ia bawa. Keranjang kayu yang terjatuh tadi, merupakan keranjang pertama. Masih ada begitu banyak keranjang buah di belakang gedung yang turut aku angkut satu persatu ke dalam.

Aku juga membagikan selimut dan beberapa kain yang aku kumpulkan lagi dari gedung utama, agar mereka bisa melewati malam ini dengan kehangatan. Aku terkejut ketika melihat salah satu anak dalam antrean, mengenakan topeng yang mirip dengan topengku ketika dulu masih menjadi youteber, tetapi terlihat sudah sangat usang dan bahannya hanya menggunakan kertas karton.

"Wah, adek topengnya bagus," pujiku.

"Iya, Kak. Ini topeng yang dulu dibeliin sama ibu di pasar," jawabnya.

Sebenarnya dulu aku juga menjual secara resmi, orisinal merchandise topeng ini dan berbagai macam kaus bertemakan misteri. Ternyata tukang mainan jalanan sudah membajaknya. Apakah aku setenar itu, dulu? Sampai ada barang bajakan seperti ini, ada-ada saja.

"Berisik kalian bocah!!" teriak seorang lelaki dari lantai dua menciptakan hening seketika. Suara tawa dan teriakan senang dari ratusan anak ini, sudah pasti dianggap mengganggu bagi para remaja yang dengan nyenyaknya tidur di kamar masing-masing. Sedangkan mereka membiarkan ratusan anak kecil berdesakan di lobi.

"Wow, wow, wow! Enak yah, makan buah lagi," ujar seorang lelaki kisaran umur 19 tahun berambut pitak di tengah kepalanya, ia masuk dengan gerombolannya menghampiri kami.

Sambil mengunyah apel yang ia ambil dari salah satu anak kecil, ia menghampiri Tesya dan berkata, "Heh, anak baru! Dua minggu diem di sini aja dah belagu. Mau ngambil hati dan jadi pahlawan bocah-bocah sini ya?"

Ada seorang cewek kurus yang maju dan turut menyentak, "Lu nyolong di kebun mana semua buah ini? Seenaknya banget ya, ngasih bocah gitu aja. Apa nggak ada yang bilang aturannya ke lu, kalau semua makanan di kota ini harus dikumpulin ke bos dulu sebelum dibagiin?"

"Nggak nyolong, ini hasil kebunku sendiri. Ta-tadi, aku ngelihat bos Torik lagi sibuk sama pertarungan. Jadi, aku langsung bagiin aja buah-buahannya," jawab Tesya ketakutan.

"Gua kira cewek lugu dah punah. Masih ada ternyata," ledeknya sambil terus menatap tajam Tesya. Ketika ia belok memperhatikan anak kecil yang berlindung di belakang Tesya, sontak ia bertanya, "Lah, kenapa selimut gua ada di sini?" seraya merebut paksa selimut tersebut.

"Guys, ambil semua buah sama keranjangnya!" titah lelaki pitak. Teman-temannya pun merebut paksa buah-buahan yang dibawa oleh Tesya, bahkan yang baru saja digigit oleh anak kecil.

"Ambil juga selimut-selimutnya! Udah mulai berani nyolong nih bocah-bocah," tambah cewek kurus menyebalkan itu.

"Apa-apan lu, anjing?!?" geramku menghampirinya.

Namun, satu pukulan telak dari cowok pitak berhasil mendarat di hidungku dan membuat kepalaku jatuh ke lantai. Lalu, ia lanjut menginjak wajahku dengan sepatu busuknya.

"Roni! Berhenti!! lepasin kaki lu, bangsat!" geram Torik yang tiba-tiba hadir seraya melayangkan pukulan keras tepat di kepalanya hingga terjatuh, tentu hal itu membuat kepalaku bebas.

Tesya menghampiri dan membantuku berdiri, ia mengusap darah yang mengucur dari hidungku dengan bajunya.

"Gaza! Yampun ...." Sasa juga hadir dan langsung menghampiriku.

"Lang, lu nggak papa?" tanya Torik.

Dengan menutup hidung karena masih terasa sakit, perlahan kuhampiri Torik dengan tatapan tajam dan berkata seolah mulut ini ingin meledak, "Nggak mungkin lu buta kan? Bukan gua yang seharusnya ditanya keadaannya. Tapi, lu lihat semua bocah di sini! Lu tanya keadaan mereka! Sebenernya juga lu tahu kan mereka jadi babu, nggak dapet makanan seharusnya, nggak dapet ruangan hangat buat tidur. Lu tumpuk mereka semua di sini buat jadi pelampiasan orang-orang stres kayak mereka!"

"Balikin semua keranjang buah itu!" titahnya kepada anak buah.

Akan tetapi, ada yang menyela, "Tapi, bos ... buah-buahan ini bisa dibagi ke–"

"BALIKIN SEMUA BUAH-BUAHAN ITU!" ancamnya seraya menarik pedang dari punggugnya. Akhirnya, semua buah-buahan itu kembali lagi ke saku bocah-bocah yang perutnya kosong.

"Lang, lu ikut gua!" Torik tiba-tiba menarikku menjauh dari keramaian, Sasa juga mengikuti kami.

Tatapanku yang mengarah kepada Tesya dan sedikit mengangguk, mengisyaratkan untuk menjaga anak-anak ini selagi aku pergi. Ia memberi balasan berupa senyum tipis pada wajah lelahnya.

"Rik! Torik!!" panggilku.

"Diem, jangan di sini!" bantahnya.

"Kita mau ke mana?"

"Ke tempat di mana lu bisa ngasih jawaban tentang dunia ini."

Kami pergi ke gedung utama menuju elevator yang pintunya bertuliskan "King Only". Ketika Sasa ingin masuk ke dalam, Torik menahannya dan segera menutup pintu. Kini hanya kita berdua di dalam sini.

"Lemah amat lu. Dipegang terus idungnya," ujar Torik.

"Stres dunia ini!" ketusku.

"Heh, gua kira lu lagi istirahat di kamar."

"Mana bisa gua istirahat kalau tahu ternyata semua bayi kepalanya pada pecah." Tak lama, pintu elevator pun terbuka di lantai paling atas, lantai tujuh puluh.

"Maka dari itu, dunia yang gila butuh cara gila buat nanganinnya," ujarnya.

Kami berjalan menuju ruangan yang penuh barang-barang elektronik, tumpukan harddisk, dan puluhan komputer yang ia nyalakan. Aku juga melihat kamera dan tasku di sini. Sejak kapan ia memindahkannya?

"Oke, sebelum gua ceritain kenapa gua memerintah dengan cara kayak gini, silakan pake bakat detektif lu, dan bongkar semua dunia ini. Semua yang sekiranya lu butuhin, udah gua kumpulin di sini," ujarnya.

Aku menyela, "Oh iya, lu sama adik gua–"

"Eit! Bongkar dulu, baru lu boleh nanya."

Baiklah, jika itu maunya.

BUTARASA (Bumi Tanpa Orang Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang