Udah hampir dua bulan ini, aku menjadi pengangguran. Berbekal tamatan SMP lima belas tahun yang lalu, aku mengadu nasib ke kota ini. Kota yang sering dijuluki kota Lumpia. Berbekal ajakan dari seorang teman, aku mengadu nasib ke kota ini. Beruntung si pemilik toko roti itu menerimaku sebagai pegawainya, sedangkan temanku yang mengajakku dia bernasib mujur karena dia diterima menjadi menantu dari cucu sang pemilik toko roti legendaris itu. Meski ku tahu, temanku itu hanya berpura-pura baik di depan pemiliknya sesaat aku dituduh sebagai pencuri barang berharga milik keluarganya.
"kamu itu ya! Tidak tahu balas budi, mencuri barang milik nenek Ainun", bentak temanku yang bernama Gunawan.
"aku dari kemarin memang sakit Gun", ucapku memelas"Alahh... banyak alasan. Cepat pergi dari toko ini atau ku laporkan dirimu ke Polisi", seketika aku didorong oleh Gunawan, dan diusir dari toko yang selama lima belas tahun ini ku abdikan diriku disana. Hal ini berbeda sebelum nenek Ainun wafat beberapa bulan yang lalu, mbah Ainun yang sering ku sapa selalu memuji cara kerjaku yang tergolong baik, bahkan sebelum beliau meninggal, memintaku untuk merawatnya sebagai asisten pribadi dari mbah Ainun ini. Usianya memang lanjut, dan saat meninggal pun sama sekali tanpa keluhan.
"Le, kowe ki wis gedhe ndang rabi, opo tak olehke putuku?"
(Le/sebutan khas untuk bocah,kamu udah dewasa segeralah nikah, apa kamu mau dengan cucuku), ucap beliau saat masih ku rawat dulu. Ucapan itu ku anggap candaan dari mbah Ainun, seakan ku lihat diriku tidak pantas bersanding dengan cucunya, yang ku tahu adalah cucu dari anak terakhir dari mbah Ainun, yaitu Nadya Astari."ah, mbah e saged mawon jodohke kula kalih putune njenengan",
(ah, nenek ini bisa aja menjodohkanku dengan cucu anda), ku balas celotehan dari mbah Ainun yang masih sering ku pijat saat itu."Le, aku ndelok i awakmu ki sregep, gemati lan gawe pengunjung bungah. Opo salah neg mbah e jodohke awakmu mbi Nadya",
(Le,aku lihat kamu itu rajin, perhatian, dan bikin pengunjung senang. Apa salah kalo nenek menjodohkanmu dengan Nadya), balas mbah Ainun
"Nadya mbah?", aku kaget saat mbah Ainun menyebut nama Nadya yang ku ketahui kalo Gunawan juga menyukai cucu kesayangan mbah Ainun itu, selain berwajah cantik, aura yang dipancarkan Ainun begitu melelehkan hati pria yang melihatnya. Terlebih Nadya yang alim, dan berstatus santriwati itu pastilah akan menerima pilihan dari orang tua atau sesepuh. Namun sayangnya, bukan karena menolak perjodohan ini. Gunawan yang notabene sudah mencuri start untuk mendapatkan Nadya dengan mendekati orang tuanya.
Aku yang cenderung pemalu, dan pendiam ini tidak dapat mendapatkan kesempatan itu. Terlebih Gunawan sudah terlalu dekat dengan kedua orangtuanya Nadya, dan Nadya sendiri melihat Gunawan lebih baik ketimbang aku yang berwajah jelek dan terlampau gendut ini. Tepatnya setahun lalu, Gunawan melamar Nadya. Dan aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan, malahan cenderung bangga pada temanku ini. Mungkin dipikiranku waktu itu, Gunawan akan mencarikan istri buatku seperti dya menawariku pekerjaan seperti dulu.
Ternyata aku berlebihan menganggap Gunawan sebagai teman baik, dia hanya memakai topeng dengan hasil kerasku. Terlebih setelah pernikahan cucunya itu, kondisi mbah Ainun semakin lemah dan memintaku menemaninya di penghujung usianya. Ironisnya, meski aku sendiri yang merawat mbah Ainun, tak satu pun dari pihak keluarga mbah Ainun berterima kasih termasuk Gunawan. Yang ada mereka menuduhku memalsukan dokumen, atau mencuri barang berharga milik mbah Ainun.