Tepok jidat, saat aku melihat duit yang tersisa. Iya ...,hanya tersisa tiga puluh ribu, mungkin hanya jadi dua loyang brownies yang akan ku buat.
"hufftttttt.....", hela nafasku saat ku lihat duit yang ku pegang hanya segitu aja.
"yaudah lah... moga aja bisa jadi dan bisa jual lagi", pikirku mencoba yakin kalo roti yang akan ku buat jadi laku di pasaran. Untuk menghemat ongkos pembuatan, aku terpaksa ke toko bahan roti langganan dulu, siapa tau bisa kasbon...Sebenarnya arah ke toko itu, cukup lumayan jauh dari kosan yang ku tinggali ini. Mungkin tiga puluh menit perjalanan kaki.
"dah lama , we orang jarang liat lu. Lu kemane aja tong?", tanya penjual toko roti itu yang logat betawinya masih kental.
"mau beli bahan-bahan bikin roti, mau usaha", ucapku
"Ohh... lu udah bikin usahe.... syukuuurr deh, tapi ko tumben-tumbennya lu pengen usahe?", tanya pemilik, yang biasa dikenal Babe Sarbini
"ceritanya panjang behh.... aku sendiri udah nganggur dua bulanan", jawabku dengan raut wajah melas.
"Lu dipecat dari Toko Roti "AIN" ? padahal we sendiri sudah langganan di sana dari jamannya mbah Ainun","tapi semenjak mbah Ainun meninggal, ada rasa yang kurang dengan aroma roti", lanjut Babe Sarbini. Aku sama sekali tidak berpikir tentang aroma roti, yang ku pikirkan cuma bisa bikin dua loyang roti ga. Beruntung waktu itu, toko bahan roti masih sepi, biasanya cukup ramai.
"tumben sepi amat behh..?", tanyaku sambil melihat sekeliling toko
"kayak lu kagak tau aja tong.... Kan sekarang jamannya orang pada males bikin kulineran, mending pada pesen pake ojol. Lagian promonya juga gedhe......", curhat Babe tentang kondisi yang berbeda dengan yang dulu."iya juga sih be...", aku hanya menggangguk saja mendengar celotehan babe
"Lu mau pesen apa, sampe lupa", balas Babe
Aku langsung menyebut apa saja yang dibutuhkan, dan bergegas Babe menghitung pesananku
"nih... semuanya tiga puluh ribu', dan ternyata duitku pas. Sama sekali tidak bersisa
"ini bisa kasbon ga behh", celetuk bercanda dan usaha, siapa tau bisa ngutang.
"lu mau awal usaha ko ngutang, ga bakal berkah. Ini bayar tiga puluh ribu dulu, dan ku kasih ini deh sebotol essense melati", balas Babe sambil menawarkan sebotol kecil essense melati. Dan akhirnya ku bayar juga bahan roti tersebut. Ku langsung bergegas pulang ke kontrakan.Sesampainya di kontrakan,
Aku langsung rebahan di kasur tipis yang ku punya. Beruntung badanku yang gempal, tidak terlalu mempermasalahkan kondisi kamarku yang acak-acakan.
"Bahan-bahan ini bikinnya kek gimana coba?", aku berpikir karena sama sekali tidak ada peralatan lengkap. Sekalipun ada, aku hanya memiliki alat kocok manual, mangkok, sendok, garpu itu pun jumlahnya seadanya. Dikontrakan hanya pesen nasi bungkus, meski di dalam kontrakan ada dapur umum untuk segala kebutuhan penghuninya."Yaudah deh, coba tanya penghuni yang lain. Siapa tau punya", aku mulai mengetuk pintu kontrakan lain.
Tok... tokk... tookkk....
Mencoba mengetuk, tapi tidak ada satu pun penghuni yang ada di kontrakan.
"eh... kamu?", kucekan mata dari wajah salah satu penghuni kontrakan.
"hmmm... mbak, punya loyang atau oven kagak?", tanyaku pada salah seorang penghuni, yaitu Yuni. Seorang waria yang usianya lima taun lebih tua dariku, namun dadanya melebihi seorang wanita sekalipun kalo dikisar sekitar 38 ke atas yang semakin melorot.
"Kagak ada Atmojo", balas mbak Yuni.
"Yahh.. padahal mau bikin usaha brownies tapi bahannya terlanjur beli, terus ga ada alatnya", mukaku langsung lesu."ouhh.. kamu mau usaha tow?", ucap mbak Yuni yang logat medhoknya terdengar jelas.
Mbak Yuni sebenarnya asli Sukoharjo, nama aslinya adalah Yono. Tapi semenjak ditinggal menikah mantannya, dia ini berpikir tidak akan menikah dengan wanita lain. Alasan trauma adalah penyebabnya. Bukannya sekali dua kali ditinggal menikah, melainkan hampir belasan lebih. Terlebih bapaknya mbak Yuni tergolong orang yang kasar, dan diusir dari keluarganya karena bekerja sebagai tukang rias.