About Arven | 01

17.6K 862 43
                                    

Sudah dihitung beberapa kali helaan napas ke luar dari mulut Gahran. Laki-laki berumur 17 tahun itu menendang pintu berwarna cokelat di depannya, ingin mendobrak tapi tidak mau jika rusak, jadi ia hanya menendang hingga menimbulkan suara yang keras.

"BANGUN LO KADAL!"

Hening masih menghiasi, sebuah decakan berhasil ke luar dari bibir Gahran, laki-laki itu menerbitkan senyum sembari menarik napas dalam. "Bangun Arven tampan, nanti sekolahnya telat."

Ceklek

"ASTAGA LO NENDANG PINTU GUE LAGI?!" Arven berjongkok, mengusap lembut pintu bekas tendangan Gahran tadi. Rambut anak itu terlihat acak-acakan, masih memakai kaos polos berwarna merah, yang pastinya Arven belum siap-siap untuk sekolah pagi ini.

"Jangan nangis, udah sama Papa di sini," ujar Arven sendu terhadap pintu kamarnya.

"Berisik banget lo bego! Cepetan mandi, gue udah siapin sarapan di bawah."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Gahran segera pergi menuju meja makan. Rumah ini nampak sepi, karena mereka hanya tinggal berdua. Walaupun sang Paman sudah menyuruh mereka untuk tinggal di rumahnya, tetapi Gahran menolak dan ingin hidup sendiri. Sampai saat ini, ia berhasil tinggal berdua dengan sang adik. Merawat Arven setulus hati, ia layaknya Bunda dan Ayah bagi Arven.

"Siap Kakaknya Arven yang paling tampan." Anak pemilik senyuman manis itu menunduk sejenak memberi hormat, kemudian ia segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

°°°

Perutnya begitu lapar, terus memberontak dan meraung ingin diisi. Arven menatap meja makan sejenak, mulutnya terbuka lebar. Melihat betapa banyaknya makanan di pagi ini.

"LO SEMUA YANG MASAK?!" tanya anak berumur 15 tahun dengan heboh, ada ikan goreng, capcay, nasi goreng, ayam krispi, dan sambal matah di atas meja.

"Nggak usah berisik bangke! Budeg lama-lama gue dengerin teriakan lo." Nada Gahran nampak datar, wajahnya pun begitu. Ia menyodorkan sepiring nasi ke arah Arven, membiarkan sang adik mengambil lauk yang disukainya.

Arven menyengir manis. "Bakat gue dari lahir, harus dijaga biar nggak punah."

"Bakat apaan cuman teriak doang."

Tidak ada sahutan, Arven menoleh ke arah Gahran yang tengah makan sambil mengangkat kaki dan menaruhnya di atas kursi. Anak pemilik bibir tipis itu mengikuti gaya sang kakak, mulai dari gaya duduk dan kapan ia memasukan makanan ke dalam mulut.

Bola mata Gahran bergerak ke depan, sedikit berdecak kala Arven terus mengikuti gayanya. "Nggak usah ngikutin gaya gue kali, ah!"

"Gaya lo itu keren, kayak Ronaldowati."

"Apaan Ronaldowati anjer, lo kira gue cewek, hah?!"

Tawa merdu mulai terdengar di antara mereka, Arven tertawa setelah nasinya meluncur ke perut. "Iya juga, ya. Bego gue."

"Dari lahir." Gahran kembali memakan sarapannya, sesekali menoleh ke arah Arven, apakah adiknya makan dengan lahap atau tidak.

"Gue jadi pengen kayak lo, deh. Suka pukul-pukul orang. Enak nggak ya rasanya?" Arven berujar memecah hening. Ia memang ingin menjadi kuat dan gagah seperti Gahran yang terbilang berandalan dan sering tawuran. Namun, Gahran selalu melarang Arven mengikuti jejak sang Kakak.

"Lo baru lahir, nggak boleh pukul-pukulan. Mending belajar yang rajin biar jadi anak TK."

"Baru lahir pale lo! Ya gue pengen aja gitu biar bisa bela diri sendiri. Biar nggak lo aja yang mukul musuh gue, makan umpan gue aja lo ah!"

"Bodo amat. Gini-gini gue sayang lo tau." Gahran menaik turunkan alisnya ke arah Arven, membuat adiknya tersenyum tipis kemudian tertawa.

"Cie, Kakak Gahran yang tampan ternyata menyayangi Adek Arven yang lebih tampan sejagat raya dan tidak terbandingkan ini." Arven tersenyum malu. Laki-laki itu memang terlihat ceria dan sedikit miring. Berbeda dengan Gahran yang terlihat dingin dan berandalan.

"Lebay lo anjir! Cepetan makannya, habis itu minum obat. Otak lo udah karatan soalnya, mudah lupa!"

"Yee karatan gini masih berfungsi juga." Arven kembali melanjutkan sarapannya.

"Apa fungsinya coba?"

"Buat nginget Bunda sama Ayah."

°°°

Jika dipikir-pikir, hari ini hari yang sial bagi Arven. Bangun kesiangan dan sekarang ban motornya bocor di tengah jalan, sialnya lagi bengkel masih jauh dan perlu didorong dengan daya yang kuat. Tapi, kekuatan Arven akan terbuang hanya untuk mendorong motor besarnya dan akan berakhir merepotkan Gahran yang akan membayarkan biaya Rumah Sakit.

Andai saja, Arven itu lahir sehat. Ia bisa melakukan apa saja tanpa merepotkan sang Kakak.

"Lo kenapa lagi sih?! Padahal gue peduli sama lo ban, kenapa, kenapa lo nyakitin hati gue, hah?! Percuma gue peduli sama lo! Udah item, bulet, berat lagi, argghh!" Arven menggaruk kepalanya frustasi. Menoleh ke kanan dan ke kiri menunggu seseorang yang akan lewat.

Namun, tak ada satupun orang yang lewat. Jalanan nampak sepi bak Wuhan gara-gara Corona.

"AH SYUKURLAH KAKAK GAHRAN YANG TAMPAN DATENG!"

Arven berteriak senang sambil melambai-lambaikan tangannya melihat Gahran yang mendekatinya dari arah kiri. Pemuda itu menatap Arven heran.

"Nape lo bocah?"

"Ban gue bocor, telpon taksi, gih!"

"Anjir, napa nggak bilang daritadi aja? Makanya, tadi tungguin gue kalo mau sekolah. Kualat kan lo otak dugong!"

Arven menghela napas, ia duduk di trotoar saat kepalanya terasa pening. "Udah ah, cariin taksi!"

"Naik ke motor gue aja, bego! Ntar gue suruh temen gue yang bolos buat ngambil motor lo." Gahran menunjuk motor bagian belakang dengan dagu, memberi kode agar Arven segera menaiki motornya.

Arven masih diam, kepalanya terlihat menggeleng pelan. "Ogah! Dikira homo gue sama lo."

"Heleh, banyak alasan aja lo kadal! Buru elah anjeng. Banyak orang yang udah tau lo adek gue!" Gahran gemas sendiri dengan tingkah Arven yang sedikit gengsi. Padahal, hari ini sudah sangat telat ke sekolah.

Terpaksa, Arven mengikuti perintah Gahran. Menaiki motor besar sang Kakak sembari menggenggam erat motor bagian belakang.

Senyumannya sedikit terbit kala angin pagi menyapa rambutnya. Bunda tau nggak? Arven seneng banget punya Kak Gahran.

---

15 APRIL 2020

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang