About Arven | 15

3.8K 433 80
                                    

Perasaannya senang, sangat senang. Gahran sampai-sampai menggigit bibir bawahnya, tersenyum sedalam-dalamnya hingga tenggelam di paru-paru. Melihat wajah sang Bunda yang terlihat jelas dalam video call.

"Kakak? Kenapa?"

Masih diam, Gahran mendongak berusaha menahan sesuatu yang akan ke luar. Rasa rindu bercampur senang mengaduk isi hatinya sekarang.

"Ka-kangen Bunda," ujar Gahran sambil tersenyum. Sang Bunda hanya terkekeh pelan.

"Bunda juga kangen Kakak. Maaf ya, Bunda baru nelpon Kakak. Nyari nomornya susah banget, untung ada Paman yang nolongin."

"Paman bilang Kakak tinggal di rumah yang dibeliin sama Paman, ya? Aman, kan? Nyaman tinggal di sana?"

Gahran mengangguk semangat, menggenggam erat benda pipih itu. "Nyaman, enak, Bun. Gahran seneng tinggal di sini. Hmm, Bunda masih di luar kota, ya?"

"Iya, Kak. Mungkin beberapa bulan Bunda balik ke rumah Paman. Kakak apa kabar? Adek juga, apa kabarnya? Udah rutin minum obat kan?"

"Baik banget, Bun. Adek juga baik, minum obatnya udah teratur, kok. Gahran juga udah jaga pola makannya."

Bunda Kelia terlihat tersenyum, senyuman yang sangat manis menyerupai senyuman Arven. "Terus, Adek di mana sekarang? Lagi ngapain?"

"Lagi bobok, Bun. Ngeluh pusing tadi, katanya pengen beli eskrim, tapi nggak jadi. Terus tadi pengen beli guguk juga. Tapi Gahran tolak." Gahran mulai menceritakan apa saja yang diinginkan oleh Adiknya tadi saat di sekolah.

Kekehan terdengar dari hp Gahran, Kelia jadi tidak sabar ingin melihat wajah anak bungsunya itu. "Jangan mau ih, kemauan Adek dari kecil emang aneh-aneh."

"Tapi, Adek jarang sedih, kan? Bunda harap Adek bahagia sama Kakak. Nggak kayak dulu yang sering nangis pengen ketemu Kakak sama Ayah."

"Bunda jadi takut, kalo Adek tau semuanya."

Gahran menghela napas, senyumannya pudar melihat wajah Kelia yang nampak bersedih. "Lama-kelamaan pasti Adek tau, Bun. Adek sayang banget sama Ayah, sering ngomongin Ayah. Katanya kangen, pengen lihat wajahnya, pengen denger suaranya, pengen dipeluk. Kadang juga, Adek mimpiin Ayah. Katanya, dibeliin banyak baju spongebob."

Menunduk, Gahran mulai menceritakan apa saja yang diinginkan Arven selama ini. "Adek pernah bilang kalo wajah Ayah pasti mirip sama wajahnya, ganteng, manis, putih. Jujur, Bun, Gahran pengen marah kalo denger Adek ngomong gitu."

"Jangan marahin Adek, wajar Adek kangen sama Ayah. Kan dari lahir, Adek nggak pernah lihat wajah Ayah. Kakak cuman perlu, batasi keinginan Adek buat ketemu Ayahnya. Bisa, kan?"

Gahran mengangguk mantap, sebisa mungkin ia akan berusaha menjalankan keinginan sang Bunda. "Bisa!"

"Jagain Adek, ya? Bunda yakin Kakak bisa jadi super hero buat Adek."

"Bunda tau, Adek kuat karena Kakak. Kakak yang selalu nemenin Adek selama ini. Gantiin posisi Bunda sama Ayah, ya Kak?"

"Bunda tau kalo Kakak kerja, jangan paksain diri. Kalo udah capek, istirahat, makan yang banyak dan teratur. Jangan tidur larut malem, belajar yang rajin. Bunda nggak nuntut Kakak harus jadi apa, yang penting Kakak bisa nyaman sama jalan yang Kakak pilih, asalkan positif."

Beberapa kali Gahran mengangguk mendengar ucapan panjang dari sang Bunda. Seuatu yang basah mendesak ingin ke luar dari pelupuk matanya, tapi sebisa mungkin ia tahan. Tidak boleh cengeng, harus tegar karena ia adalah super hero.

"Satu lagi, jangan pernah sentuh rokok, okay?"

"Iya Bunda, Gahran nggak ngerokok." Ia menggigit ujung lidah, susah baginya untuk berhenti merokok saat ini. Tapi, karena ini kemauan sang Bunda, ia harus berhenti sekarang juga.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang