About Arven | 24

3K 365 184
                                    

Suara dari detakan jam terdengar menghiasi ruang tamu yang hanya berisikan dua insan. Keduanya terlentang di atas lantai dengan pandangan memandang langit ruangan. Tak ada yang bersuara, mereka sibuk terhadap pikiran masing-masing.

Gahran mengembuskan napas kasar. Punggungnya masih terasa dingin berkat lantai yang ia tiduri. Keringat yang awalnya menghiasi dahinya pun perlahan mengering.

Bibir merah muda milik sang kakak sontak mengeluarkan sebuah decakan. Suara dari oreo yang tengah dikunyah itu berhasil membuat Gahran menggeleng beberapa kali. Sedari tadi hanya oreo yang ada di jemari Arven.

"Bangun, gih. Ntar dingin, kelamaan di lantai."

Arven menoleh sekejap, ia melayangkan tatapan tajam. Tubuh kecilnya berbalik memunggungi sang kakak, jemarinya pun masih dipenuhi dengan biskuit oreo.

Kakak beradik itu memilih untuk rebahan di atas lantai, sebab keringat berhasil membuat tubuh mereka gerah. Usai pertengkaran kecil terjadi di sofa, dengan berakhirnya si bungsu yang kambuh akibat kebanyakan berteriak dan ngegas. Akhirnya Gahran menyudahi pertengkarannya dengan sang adik, memilih untuk membiarkan Arven beristirahat .

"Ven! Sopan dikit ama gue, bisa nggak?"

"Bowdo amwat guwe guwak peduwli. Yuwang pwenting luwanti dingin. UUU SEWEGEL SEWKALI. La--"

Puk

"Gowblowk!"

"Telen dulu, njir! Ntar keselek gue nggak mau bantuin."

Gahran mengangkat tangannya setelah memukul kepala sang adik. Ia mendengkus kesal kala Arven tak memandangnya ketika berbicara. Oreo selalu saja diutamakan oleh bocah itu.

Arven memejam tidak peduli, pipinya mengembung sebab oreo masih memenuhi mulutnya. Remahan biskuit pun sudah berserakan di lantai, sebab ia tak bisa makan dengan rapi. Biarlah berserakan, toh juga bisa dibersihkan nanti.

Terasa malas memarahi sang adik, Gahran akhirnya bangkit hendak ke dapur untuk memasak. Mengingat jika ia dan Arven belum makan sore ini. Kini, rasa lapar mulai menyapa. Namun, panggilan dari si bungsu membuat Gahran mengurungkan niat untuk melangkah.

"Kew muwana?!"

Walaupun Arven tak melihat sang kakak bangkit. Namun, indra pendengarannya mampu menebak jika Gahran tengah bergerak. Bocah itu segera bangkit, berbalik badan dan memandang lekat wajah Gahran.

"Masak, gue udah laper. Lo nggak laper, cil?"

Embusan napas kasar berhasil keluar dari bibir Arven, anak itu mengusap perutnya dan memandang bungkusan oreo yang telah kosong. Mulutnya saja masih dipenuhi dengan oreo, tetapi perutnya mulai menolak lantaran sudah terasa kenyang.

"Kenapa? Kenyang sama enek, ya?"

Arven mengangguk pelan, membenarkan ucapan dari Gahran. Begini, nih. Jika ia kebanyakan makan makanan yang manis, pasti berujung enek dan membuat Arven beberapa kali menghela napas.

Gahran tertawa kecil, hal yang memang pantas Arven dapatkan, sebab adiknya itu tidak mau berbagi oreo sedikit pun dengannya dan sekarang anak itu sudah terkena karmanya sendiri.

"AYAM, ENEK!"

"Siapa suruh. Pelit!"

"Nggak ada nyambungnya ke pelit, anjer!"

Gahran memutar bola mata sejenak, ia lekas melangkah meninggalkan Arven yang masih berdiam di lantai. Perutnya sudah lapar dan ia ingin segera memasak. Jadi, ia tak bisa menenangkan si bungsu yang mungkin sebentar lagi akan berteriak.

"AYAAAAAMM! ENEEEKK!"

"Terus? Mau apa? Kiranti?"

Arven cemberut, ia terbatuk beberapa kali seraya berguling di lantai. Kakinya menendang udara berharap kekesalannya dapat berkurang. Hah ... mood-nya kembali hancur saat ini.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang