About Arven | 18

4K 475 133
                                    

Hawa dingin melekat sempurna di tubuh Gahran, angin usai hujan menerpa kulit putihnya, menelusuk ke dalam tulang rusuk. Terpaksa menahan sebab ia tidak memakai jaket, ia boleh saja kedinginan karena angin sore, tetapi jika Arven, tentu tidak. Ia akan memaksa adiknya itu untuk memakai jaket ke mana pun.

Motor Gahran menepi ke kiri, memelankan laju motor ketika sampai di pekarangan rumah. Berdecak pelan saat melihat kendaraan yang mirip dengannya sudah terparkir rapi, pasti adiknya itu pulang dengan keadaan basah kuyup.

Segera, Gahran melangkah ke dalam rumah. Hendak memanggil nama Arven, tetapi suara gemericik air dari kamar mandi membuatnya menghela napas.

"Ven! Jangan main air, elah!"

"ENGGAK!"

Suara ngegas berhasil Gahran tangkap dari jawaban Arven. Ia mendaratkan pantatnya di sofa, ingin mengistirahatkan tubuhnya dan menunggu Arven keluar dari kamar mandi. Untung saja ia tidak pulang dengan keadaan basah kuyup, menunggu lama-lama di sekolah ternyata membuahkan hasil yang lumayan baginya.

"Itu suara air yang kebuang kedengeran, woe!"

"GUE BILANG ENGGAK YA ENGGAK! AIRNYA JATUH SENDIRI!"

Gahran hanya diam enggan menjawab, membiarkan Arven yang tengah bersemedi di dalam kamar mandi. Mendengar setiap nyanyian tidak jelas anak itu, yang berhasil membuat Gahran menyungging senyuman tipis.

Arven itu unik, adik kandungnya yang paling langka. Seperti badak bercula satu.

Setelah beberapa menit terlewati, Arven akhirnya keluar dari kamar mandi. Menutup saklar lampu lalu berjalan ke dapur, mengambil satu bungkus oreo, membawanya ke sofa. Duduk dengan tenang sembari nyemil dan menonton tivi.

"Lo hujan-hujanan?"

"Enggak, kenapa?"

Gahran mengernyit bingung, ia mengacak rambut Arven yang basah. Kentara bahwa anak itu pulang dengan menerjang hujan, walaupun Arven sudah mengganti baju. Gahran tetap tahu jika si bungsu tengah berbohong.

"Gue serius, Ven. Lo nggak bawa jas hujan tadi."

"Gue nggak hujan-hujanan, kok. Tadi gue bilang 'pup', langitnya langsung jedarr, jederr, duarr, buurr. Habis itu hujannya berhenti, gue pulang, deh. Kayak nggak tau aja kalo gue punya jurus rahasia."

"Jurus rahasia ndasmu." Gahran menjitak gemas dahi Arven. "Lo kan nggak berani sama petir. Kalo ada suara gitu mah lo langsung nangis."

Arven menghela napas, menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. Bersila dengan oreo yang berada di atasnya. Ia memang tidak pintar dalam hal berbohong, Gahran selalu saja tahu apa yang terjadi sebenarnya.

"Iya."

"Iya apanya?" Gahran menaikkan sebelah alis.

"Iya gue hujan-hujanan. Habisnya, perut gue mules banget. Nggak bisa ditahan, yakali gue pup di celana."

Gahran mendengkus sebal, ia memang yakin jika Arven hujan-hujanan pulang ke rumah. Ada rasa takut yang mulai menyapa, adiknya itu akan mudah demam walaupun terkena hujan hanya sedikit saja. Ia berharap, semoga saja, itu tidak terjadi.

"Lo kan bisa boker di sekolah. Kenapa mesti pulang? Hujan-hujanan lagi, gue udah nyuruh lo buat nungguin di kelas. Main pulang aja!"

"Bodo amat! Perut gue udah kriuk-kriuk dari tadi. Nggak mau lagi gue pup di sekolah. Gue kan orangnya higienis gitu, lho …," sahut Arven seraya memisahkan selai oreo dari biskuitnya.

Merasa malas untuk meladeni ucapan Arven, percuma saja Gahran menceramahi adiknya ini itu. Toh juga si bocil tidak akan peduli. Ia melirik sebentar ke arah Arven yang tengah sibuk mengumpulkan biskuit hitam itu dari selainya, terasa nikmat dan Gahran ingin mencicipinya sedikit saja. Tangannya mulai terangkat hendak mengambil camilan itu.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang