About Arven | 03

6.6K 599 16
                                    

"Kak Gahran lama banget anjing, nggak tau apa gue udah lumutan nunggu di sini."

"VEN? NAIK BUS KUY! NTAR TEBAR PESONA BARENG DI SANA!"

Arven menoleh ke arah kiri, di sana ada Hardan yang tengah melambaikan tangan. Rasanya, hati Arven ingin sekali menaiki bus, tapi ia tidak mau Gahran marah kepadanya.

"OGAH! BANYAK KUMAN!"

"LEBAY!" Setelah mengucapkan kata itu, Hardan segera memasuki bus. Meninggalkan Arven yang sendirian di halte menunggu Gahran.

Arven sedikit menurunkan resleting jaket, terasa gerah saat hawa panas dari matahari menyapa tubuhnya. Sesekali mengeluh betapa lamanya menunggu Gahran yang belum menjemputnya. Mungkin, laki-laki itu tengah nongkrong.

"Perut udah laper, belum minum obat. Bisa mati gue lama-lama di sini. Ngerepotin banget lo kepala, buat gue pusing mulu." Arven bangkit dari duduk, berdiam di trotoar sembari menunggu taksi yang datang. Terpaksa ia lakukan, agar perutnya bisa terisi jika cepat sampai di rumah.

Senyuman terbit kala melihat taksi yang lewat, tangan Arven hendak membuka pintu mobil. Namun, lengan kirinya segera ditarik oleh seseorang.

"Maaf, Pak. Nggak jadi mesen taksi," ujar seseorang yang terdengar datar. Tubuh kurus Arven bergerak ke kiri mengikuti tarikan orang itu.

Gahran, nampak memasang wajah tidak suka. Cowok itu menatap tajam ke arah Arven. "Kalo gue bilang, turuti. Jangan naik taksi. Tungguin gue di halte!"

Arven cemberut, kadang hatinya tidak senang saat mendengar Gahran marah. Nadanya terlalu datar dan mencekam, membuat nyali Arven menciut. "Perut gue laper, bego!"

Gahran tak menjawab, ia segera merangkul pundak yang lebih pendek darinya. Membawa Arven ke dekat warung kecil yang berada di seberang jalan, segera mengambil motor dan bersiap-siap.

"Kak, nggak boleh jajan dikit aja, nih? Laper banget nih perut."

"Nggak," sahut Gahran singkat.

Kesal, Arven menuruti perintah Gahran. Ia segera menaiki motor milik sang Kakak. Tubuhnya yang mulai gerah perlahan dihapus oleh angin siang yang menyapa. Rambut Arven yang sedikit basah akan keringat terangkat, diembuskan oleh angin yang meyegarkan.

"WAAA SEGER BANGET NI ANGIN UHUYY!"

"Bicit," umpat Gahran pelan yang mampu didengar oleh Arven. Lelaki itu segera menjitak kepala sang Kakak.

"Bilang aja kalo lo juga nikmatin angin. Nggak usah malu sama gue, gue itu ya emang tampan. Bakat gue dari lahir itu banyak, sebenernya harus dilestarikan biar nggak punah."

Tidak ada sahutan, Arven mendecak dan Gahran tersenyum tipis. Adiknya itu memang tak suka jika dikacangi. "Kacang jing, percuma gue ngomong," ujar Arven.

"Makanya diem," sahut Gahran gemas. Ia melirik Arven dari kaca motor, senyuman tipis ia cetak. Melihat wajah Arven yang ceria saja hatinya kembali menghangat.

Jangan ambil Arven dari Gahran, ya Bun. Gahran janji bakal jagain Arven sebaik mungkin.

°°°

"Gue pulang malem, habis nongkrong langsung kerja. Kalo nanti laper lagi, angetin aja makanannya, jangan buat mi instan. Tidur lebih awal, inget minum obat."

Arven hanya mengangguk mendengar ucapan Gahran, mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.

"Lo denger gue apa nggak sih, njir?!" Gahran menoleh ke belakang, ia tengah memakai sepatu di ruang tamu. Merasa kesal saat Arven tak menjawab ucapannya.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang