About Arven | 25

4.1K 398 69
                                    

Gahran mengayunkan lengannya ke depan dan belakang, iris hitamnya bergerak gelisah memandang langit yang sudah gelap. Tatapan khawatir pun tersirat jelas dari pandangannya, takut jika ia tak bisa memenuhi ucapannya tadi dengan sang adik.

"Mas, udah belom?"

Sudah lebih dari satu kali pertanyaan itu keluar dari bibir si sulung. Kakinya senantiasa berdiri di depan gerobak lalapan yang biasa buka di saat malam hari. Ia sudah berkata kepada Arven jika ia akan membelikan nasi goreng.

"Sabar, Dek. Antriannya panjang, loh," sahut Mas tampan dengan kulit cokelat di atas rata-rata. Pria itu tampak kewalahan menangani para pembeli yang memesan cukup banyak makanan.

Gahran mendesah kesal, memandang setiap pembeli yang tengah menunggu di dekatnya. Kerongkongannya mendadak terasa kering, iris hitamnya pun silih berganti memandang jam tangan yang melingkar di lengan kirinya.

"Mas, boleh nggak--"

"Aduh, hujan!"

Pandangan Gahran lekas menoleh ke arah pembeli yang tengah mendekat untuk berteduh. Detakan jantung pemuda itu lantas berdetak lebih cepat, tak ingin berlama-lama di sini. Ia pun segera membatalkan pesanan.

"Mas, saya nggak jadi mesen!"

Tanpa menunggu jawaban dari si pedagang, Gahran segera mendekati motornya. Menjalankan benda itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebuah kalimat yang ia ucapkan kepada sang adik telah ia ingkar hari ini.

"Gue balik sebelum hujan turun. Nanti gue beliin lo nasi goreng, mau?"

Gahran menghela napas, lalu mengembuskannya dengan kasar. Angin malam dan air hujan yang deras berhasil menusuk relung hatinya, mengantar aura dingin nan mengkhawatirkan. Ia akan minta maaf nanti kepada si bungsu, nasi goreng yang ia ucapkan tadi tak berhasil ia bawa pulang.

"Maaf, Ven ...."

Gludag-gludug

Suara gemuruh dari langit berhasil membuat Gahran mempercepat laju motornya. Ia berusaha tak acuh pada angin dan hujan yang berhasil membuat tubuhnya gemetar menahan dingin, yang ia pikirkan sekarang hanya sosok sang adik.

Arven, yang memiliki astraphobia.

•••

"Gue balik sebelum hujan turun."

Genggaman Arven pada gorden jendela kamarnya semakin erat. Wajahnya tersirat kekecewaan jika mengingat kalimat dari sang kakak tadi sore, yang katanya akan pulang sebelum hujan turun. Namun, nyatanya Gahran belum juga pulang, padahal hujan sudah turun.

"Rembo ke mana, sih?! Katanya pulang sebelum hujan. Terus kenapa sekarang belum pulang?! Ntar kalo ada petir ... gimana?"

Tubuh kecil itu berbalik, memandang jarum jam yang terus bergerak. Kerongkongannya mulai terasa kering pun dengan jantungnya yang berdetak kencang. Ia sudah mulai takut, jika petir akan datang malam ini.

"Rembo ... pulang."

Gludag-gludug

Arven tersentak kaget, kedua tangannya lantas menutupi telinganya dengan erat. Detakan jantungnya semakin menjadi, bahkan napasnya mulai terdengar pendek. Panik mulai menguasai benaknya saat ini.

"Rembo!" Tubuh yang mulai melemas itu Arven paksa untuk bergerak, walau berjalan dengan tertatih menuju ranjang. Niatnya saat ini adalah mencari perlindungan. "Rembo! Pulang!"

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang