About Arven | 04

6.2K 574 16
                                    

"Gimana? Udah ngerasa lebih baik?"

Arven mengangguk pelan, menarik napas lalu ia embuskan. Menatap sayu ke arah Virgo yang tengah menemaninya di ruangan belakang.

"Kalo lo nggak kuat, jangan dipaksa," ujar Virgo sembari menarik kursi dan membiarkan pantatnya jatuh di sana, menaruh gelas terlebih dahulu sebelum memandang wajah pucat Arven.

Menunduk, Arven menatap kedua lengan dan kakinya. "Maaf, ngerepotin."

Virgo tertawa pelan, berusaha mencairkan suasana yang terasa gerah. "Udah elah, gue temen lo. Jangan sungkan minta bantuan, lo nggak bakal ngerepotin gue."

Senyuman tipis terbit di bibir Arven. "Makasih banyak, gue jadi terharu. Pengen nangis rasanya."

"Lebay lo makin ningkat. Udah ah, lo istirahat dulu. Gue mau lanjut kerja, nanti kalo udah baikan lo bisa lanjut." Virgo bangkit dari duduk, meninggalkan Arven yang sedang beristirahat di ruangan khusus yang berada di belakang.

Bola mata Arven bergerak memandang punggung Virgo yang semakin menjauh. Kemudian matanya kembali menatap kedua tangan dan kaki, menghela napas berat.

"Bunda sama Ayah lagi ngapain di sana? Kok nggak pernah ngabarin Arven?"

°°°

Jika ditanya apakah tubuhnya terasa lelah dan lemas, Arven akan menjawab iya. Tangan kanannya memutar knop pintu rumah, lalu masuk dan disapa dengan cahaya lampu yang sudah hidup.

Arven memang sengaja menghidupkan semua lampu, ia takut terhadap gelap, petir, dan darah. Maka dari itu, Arven pulang awal seperti sore ini, tubuhnya juga tidak bisa diajak kompromi dan semua ototnya terasa pegal.

Sebenarnya jam pulang kerja Arven bukan sekarang, tapi karena Ok Rilvan yang memaksanya pulang. Membuat Arven mengangguk patuh, toh juga tubuhnya sudah sangat lelah.

"Lo ngerepotin orang mulu," ujar Arven sangat pelan. Ia memandang tangan kanan, menggerakkan sedikit agar tak terasa kaku.

Tenggorokan Arven mulai terasa kering, ingin diisi air untuk menyegarkan dan mendinginkan. Ia bangkit perlahan, berjalan hati-hati kala kakinya masih terasa pegal. Tangan kanannya juga terasa kesemutan.

Setelah membiarkan gelas penuh terisi air, Arven segera mendekatkan gelas itu ke bibirnya. Membiarkan air itu terjun ke dalam tenggorokan.

"Uhuk, uhuk, uhuk." Arven terbatuk, lantaran tenggorokannya sedikit susah untuk menelan. Itu yang membuatnya tersedak, hal biasa terjadi jika dirinya kelelahan.

Arven menormalkan napasnya, menatap gelas yang masih ia genggam. Tangannya nampak bergetar. Ia mendecak sejenak.

"Gue itu haus, lo kenapa nggak ngerti banget, sih?! Sejahat itu lo nyakitin hati gue, njing." Arven berujar dengan si penyakit, ingin merubah sikap penyakit itu yang selalu menganggu hidupnya.

"Udah ah, percuma gue ngomong sama lo. Mending gue mandi, terus bobok ganteng mimpiin Ryujin Itzy." Kaki Arven melangkah dengan hati-hati meninggalkan dapur, menuju kamar untuk membersihkan diri, sembari menunggu Kakak tersayang pulang.

Siapa tahu, Gahran membawa oleh-oleh sepulang kerja.

°°°

Hawa dingin masih menempel di tubuh pemuda itu, kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Melihat sekitar untuk mencari seseorang, sambil menoleh jam dinding.

Pukul 11.30 malam. Cukup lama ia di luar meninggalkan Arven sendirian di rumah. Gahran menatap kantong kresek hitam yang ia genggam, senyumannya terbit. Pasti Arven senang dengan oleh-oleh malam ini. Nasi goreng dengan minuman es jeruk.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang