Arven bangkit dengan sangat hati-hati, lantas menyender di tembok. Jemarinya sibuk mencengkeram seprai dengan erat, napasnya mulai tidak beraturan sebab rasa takut semakin menjadi. Sudah beberapa kali Arven mengucek matanya, sampai saat ini belum juga ada perubahan.
"Bu-burem … a-ayam, gue takut. Ayam!"
"Ayam siapa, sih?!"
Danen sudah mulai panik, ia bingung untuk menyelamatkan Arven, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menggigit jemarinya akibat panik.
"Gahran sih kayaknya."
Gion menjawab pertanyaan Danen, ia lantas menaiki ranjang Arven dan mendaratkan pantatnya di sana, lalu mencengkeram bahu Arven.
"TARIK NAPAS! LEPAS … AYOO!"
Arven menggeleng, ia tidak mau mengikuti sedikit pun perintah dari Gion. Menurutnya tidak berguna dan membuatnya semakin takut, Arven ingin Gahran saat ini. Ia ingin memeluk sang kakak disaat rasa takut kembali melanda.
"Tarik napas woe! Embuskan lewat mulut, tarik napas lagi, embuskan lewat mulut!"
"Lo kira Arven mau lahiran, hah?!"
Danen menjambak rambut Gion karena kesal, ia lantas memainkan kepala temannya itu untuk melampiaskan rasa takut. Sedangkan Gion berteriak histeris karena kesakitan.
"GUE PANIK INI ASTOGEH! Kalian malah berantem!"
Verdo memekik seraya melompat-lompat, berjalan ke sana dan ke mari. Sesekali mengacak rambut saking paniknya, telapak kakinya yang menyentuh lantai semakin terasa dingin. Bahkan, detak jantungnya lebih cepat dari biasanya.
"Bayi sakit! Ambil air, Do!" perintah Danen mulai melepas cengkeramannya pada rambut Gion.
"DI MANAAH?!"
"DAPURR!"
Cowok pemilik rambut cokelat itu segera berlari ke dapur. Ingin mencari air minum untuk Arven, sesekali Verdo menggigit bibir bawah. Panik tak kunjung pergi dari benaknya, membuat tangannya bergetar mengambil gelas kaca.
"Kak Gahran …."
Arven masih memejam, tangannya terangkat untuk menjambak rambutnya. Pening kembali menyerang, sesak pun ikut singgah, berhasil mendukung dirinya untuk menangis. Ia tidak berani membuka mata, takut jika pengelihatannya semakin buram dan objek yang ia lihat menjadi ganda.
"Jangan ditarik, Dek! Ntar botak tau rasa!"
Gion menarik tangan Arven agar tidak menjambak rambut anak itu. Hatinya tak kunjung tenang melihat Arven yang semakin kacau, bahkan isakan kecil pun mulai terdengar dari bibir Arven. Membuat Gion ingin sekali berteriak meminta bantuan.
"Cepet elah, Nen! Lama amat lo ambil obatnya! Ntar Dedek Arven makin nganu! Ketahuan sama Gahran, kita bisa dibakar!"
Danen mengigit bibir bagian bawah, ia dengan sangat pelan membuka bungkusan obat Arven, sebab tangannya masih terasa bergetar. Jantungnya pun turut berdisko di dalam sana, ia sesekali menutup mata ketika mendengar rintihan dari Arven.
Lemas semakin menghantui tubuh Arven, napasnya terdengar putus-putus, bibir yang ingin berbicara itu mendadak kelu. Ia sekarang hanya butuh kehadiran Gahran, sosok yang selalu memeluknya dikala sakit menyerang seperti ini.
Arven tersentak, ketika sebuah pelukan mulai ia rasakan. Perlahan, mata yang terasa berat itu terpaksa ia buka. Tubuh yang memeluknya tampak buram dan ganda, walau tak melihat jelas siapa yang memeluknya. Arven yakin, sosok itu ialah Gion.
"Dek, jangan nganu dulu … ntar Gahran marah sama kita. Kalo Abang Gion ada salah, maafin, yak. Dedek nggak usah maafin Abang Danen sama Verdo, mereka banyak salahnya. Abang Gion mohon … jangan nganu dulu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
About Arven
Teen FictionHanya berisi tentang kehidupan Arven yang dipenuhi dengan kartun dan Kpop. BROTHERSHIP! BUKAN YAOI! BUKAN HOMO!