Gahran membersihkan jari telunjuk kiri Arven dengan telaten, memberikan betadine lalu membalutnya dengan perban. Sengaja ia lapisi hingga tebal agar darahnya tidak kelihatan, takut jika Arven tiba-tiba melemas ketika melihat darah.
Wajah Arven yang pucat masih Gahran pandang, mungkin ini salahnya karena telah cuek terhadap anak itu. Membuat Arven yang terkena imbasnya.
"Maaf, Bun. Adek kambuh lagi," lirih Gahran pelan, ia menunduk sembari menghela napas. Menunggu Arven yang tidak kunjung sadar sedaritadi.
"Shh," desis Arven pelan sambil membuka matanya dengan perlahan. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya, tersenyum pelan ketika melihat wajah sang Kakak yang tengah tersenyum.
"Gimana? Masih pusing?"
"Enggak, yam," sahut Arven pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, masih takut jika Gahran akan mencuekinya lagi.
Gahran menaikkan sebelah alis. "Yam?"
"Ayam, hehe."
Decakan berhasil lolos di bibir Gahran, tidak heran dengan sikap Arven yang mulai konyol, padahal ia baru siuman dari pingsan. Ada-ada saja.
"Gue mau lanjut masak, biar lo nggak telat minum obat." Gahran hendak bangkit dari duduk, namun lengannya ditahan oleh genggaman Arven.
"Kak," panggil Arven pelan. Menginginkan Gahran duduk lebih lama bersamanya.
"Apa?"
Arven menurunkan bibirnya, membuat wajahnya menjadi sedih. "Lo masih marah sama gue? Maaf, gue bisa jelasin semuanya, yang tadi sore itu cuman bercanda aja, kok. Nggak serius, lo jangan masukin ke hati. Ntar hati lo malah naksir sama gue."
Gahran menghela napas, pantatnya kembali jatuh di ranjang Arven. "Gue nggak marah, cuman kesel aja."
"JADI LO NGGAK MARAH SAMA GUE?!"
"Nggak tau juga," sahut Gahran datar.
"Ish kok nggak tau sih, yam?! Jangan marah lah sama gue, ntar gue nangisnya sama siapa? Gue sama Elsa kan beda Kota."
"Berhenti manggil gue ayam, Ven! Gue heran juga nape lo suka amat nyebut Elsa projen-projen tuh. Emangnya dia siapa?" tanya Gahran bertubi-tubi. Pertanyaan ini memang selalu terpendam di otaknya, sebenarnya ia malas untuk mengungkapkan. Namun, karena sekarang ia mulai jengah, terpaksa ia keluarkan.
"Ayam itu panggilan kesayangan gue ke elo. Kalo masalah Elsa itu, ya gue suka aja, soalnya dia cantik." Arven menyengir manis, membuat Gahran kembali berdecak kesal.
"Panggilan kesayangan ndasmu. Anak TK emang hobinya nonton kartun, besok-besok gue beliin lo bajunya Elsa. Pakai sekolah, pamer sama anak-anak Paud!" ujar Gahran brutal, ia segera pergi dari kamar Arven setelah mengucapkan kata-kata itu.
"GUE BUKAN ANAK TK, AYAM!"
"GUE BUKAN AYAM JUGA!"
Arven mendengus kesal mendengar teriakan Gahran. "Lagian ayam itu lucu, galak, warna-warni. Mirip banget sama lo, Kak."
Kemudian matanya bergerak ke arah tangan kiri, masih terasa perih dan sakit. Senyuman Arven muncul, melihat jarinya yang sudah di perban.
Ternyata ayam seperti Gahran itu baik dan manis. Membuat Arven jadi mengurungkan niat untuk menabok sang Kakak.
°°°
"Kak," panggil Arven di sela-sela kegiatan mengunyah makanan. Gahran dan Arven sekarang tengah makan malam di meja makan, terlihat sangat tenang dengan penuh menu malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Arven
Teen FictionHanya berisi tentang kehidupan Arven yang dipenuhi dengan kartun dan Kpop. BROTHERSHIP! BUKAN YAOI! BUKAN HOMO!