Bab 3. Obrolan Sahabat dan Calon Kakak Ipar

428 28 1
                                    

"Kak Adam!" panggil Azkia pada kakak pertamanya, setelah dia masuk ke rumah. "Ihh, Kak Adam lama gak pulang, chatt Kia terakhir juga gak dibalas. Libur berapa lama ini? Kia kangen," kata Azkia sambil memeluk kakaknya.

Adam sempat terkejut sedikit dari fokusnya ke buku, tapi akhirnya dapat menyesuaikan setelah melihat itu Azkia. Maklum, Azkia memang sering asal peluk ke dirinya atau Abian. Dan gara-gara ini beberapa hubungan serta pendekatannya ke cewek juga sering gagal.

Selisih umur Azkia dengan Adam adalah 10 tahun. Adam selalu Azkia jadikan seperti ayah dirumahnya, ditambah sifatnya yang kalem, menawan, dan memang tulang punggung dalam keluarga. Mereka juga jarang bertemu, karena profesi kakaknya yang sebagai nahkoda. Jadi masih ada rasa hormat kepadanya, berbeda dengan kakak keduanya, Abian yang cukup bawel, dan sering bercanda dengannya.

"Salim dulu, masa langsung peluk. Kan kakak udah bilang jangan asal peluk. Azkia udah gede, nanti kakak jomblo terus kalo ada yang liat Azkia peluk kakak, dikira pacar," gerutu Adam.

"Lagian tuh bentar lagi ada yang baru buat dipeluk, jangan asal peluk kita lagi, dek!" Abian menimpali.

Azkia melepas pelukannya, dan menyalimi kakak pertamanya. Lalu menatap sinis pada kakak keduanya, "Siapa juga yang mau peluk Kak Abi!" Sedangkan Aziel yang baru masuk rumah merasa kebingungan. "Dah ah, Kia capek! Kak Ziel, Kia duluan," katanya sebelum pergi ke kamarnya, sedangkan Abian melongo mendengarnya.

"Bang, udah berhasil ngatasi, Kia?" tanya Abian kepada Aziel yang sedang bersalaman dengan sahabatnya yang dua bulan ini sudah tidak bertemu, yaitu Adam.

Terakhir Aziel dan Adam bertemu yaitu saat Aziel menangisi perempuan yang meninggalkannya. Saat itu Adam bahagia karena akhirnya dia bisa menagih janji Aziel untuk menikahi Azkia.

"Ngatasin gimana?" jawab Aziel santai. "Tante mana?" lanjutnya, karena dia ingin langsung pamit.

"Belum terbiasa panggil bunda ya, bang? Hahaha" ejek Abian. Abian sudah menganggap Aziel seperti kakaknya sendiri. Namun siapa sangka Aziel malah akan jadi adik iparnya? Rasanya dia perlu adaptasi juga dalam hal panggilannya ke Aziel.

"Gapapa, kalian berdua pelan-pelan adaptasinya," ucap Adam yang sadar atas kesalahan mereka berdua. "Mama masih ambil pesanan di rumah tetangga sebelah, Ziel," kata Adam sambil menepuk bahu Aziel pelan. "Oh iya, Ziel ini ada sesuatu buat lo," Adam menyerahkan sebuah paper bag dari meja.

"Untuk gua?" tanya Aziel setelah menerimanya, dan melihat isinya yang lebih cocok sebagai barang-barang perempuan.

"Sebenarnya itu barang-barang kesukaan Kia. Gua cuma ingin bantu lo buat ngenal dia hehe," kata Adam sambil duduk lagi.

"Thanks bro!" kata Aziel.

"Ziel, lo kan udah gua cariin istri. Lo gantian nyariin gua dong. Setelah Kia ga ada, otomatis hubungan gua bakal aman," canda Adam.

"Gua juga, bang!" timpal Abian yang fokus dengan gamenya.

"Kalo seenak itu nyarinya, gua udah nikah duluan, nggak sama Kia," jawab Aziel sambil senyum.

"Eh ngomongnya yang bener lo, Kia bukan sembarang orang," kata Adam, walau dia tahu sahabatnya hanya bercanda.

"Iya gua tahu. Kan Introvert banget sejak dulu, gua aja nyapa gak pernah dikasi senyum sejak dia masih bayi," balas Aziel.

Aziel memang sudah bersahabat lama dengan Adam sejak mereka SD, yang artinya sejak Azkia masih dalam kandungan. Tempat tinggal Aziel dulu tidak jauh dari rumahnya dan mereka sering bermain bersama. Namun, sejak ayah Aziel mendirikan restoran di kota, dan cukup kewalahan jika harus pulang pergi selama 2 jam perjalanan, keluarga mereka akhirnya pindah.

"Hahaha.. tenang habis dia ngasih kepercayaan ke lo, gua yakin dia ga bakal betah jauh-jauh sama lo."

"Susah, Dam. Tadi aja gua udah usaha terbuka, dia masih ketus juga ke gua."

"Ketus gimana? tadi aja udah mau pamit sebelum masuk kamar, dia udah ngehargain lo lah paling nggak"

"Ya, semoga aja." jawab Aziel pasrah dengan senyum untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Selain karena kesepakatan, lo kok mau sama adik gua? Lo kan bisa nolak," tanya Adam serius.

"Iya bang, gua juga penasaran." Abian yang sejak tadi sambil main game, mulai menurunkan pandangannya dari HPnya.

Aziel memang memiliki pilihan untuk menolak, dan tidak ada orang yang sedang memaksanya. Namun, dia memilih iya, karena Azkia bukan pilihan yang buruk. "Yah.. dipikiran gua cuma dia bukan tipe orang yang mau ninggalin gua dengan alasan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Secara, ekonomi keluarga lo cukup, dia juga ga pedulian sama orang diluar keluarga dia. Jadi gua pikir, setidaknya kalo gua berhasil jadi orang yang dia anggap keluarga, dia bakal nganggap gua lah." Dia tersenyum dan menambahkan, "dia tadi juga bilang kalo pernikahan untuk selamanya, jadi gua makin yakin."

"Dewasa juga dia," ucap Adam. "Gua yakin dalam hati dia terpaksa karena pilihan keluarga. Tapi gua pingin dia terbuka juga ke oranglain. Dia gak pernah tertarik pertemanan, Ziel. Setidaknya sama lo dia bakal bisa belajar, ada orang yang bisa dia percaya kecuali keluarganya yang sekarang."

"Kenapa mempercayai gua, Dam?" balik Aziel yang menanyai Adam dengan serius.

"Lo satu-satunya orang yang pernah gua tahu mau ngorbanin hidup demi nyelametin gua," jawabnya dengan tawa.

"Hahaha.. yang gua slametin lu, Dam. Bukan, Kia" Aziel balas tertawa setelah tahu apa yang dimaksud Adam.

"Ya, anggap aja Kia itu diri gua. Suatu saat bahkan lo bisa saja nganggap Kia lebih dari sahabat, alias sahabat hidup lo!"

"Gua berharap gitu, untuk Kia juga," jawab Aziel dengan tenang, setenang hatinya yang sekarang. Dia yakin dengan bantuan Adam, Abian, dan Bunda, dia akan berhasil mendapatkan kepercayaan Azkia. Setidaknya seperti itu, untuk saat ini.

AN:
Terimakasih sudah membaca hingga bab 3 :) Saya akan sangat bersyukur dengan Vote, komentar tentang alur, tokoh, dan krisar dari kalian! :) Sampai jumpa pada bab selanjutnya!

Mahasiswa Baru SahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang