Aneh

21 1 4
                                    

"Kemungkinan Dia bakal ngehindar?" Aku memastikan ucapan Bleeth.

"Iya, soalnya Narsh itu-"

"Gue kenapa?"

"Narsh," Panggilku lirih.

"Enggak itu tadi Adres nanya tumben Gue gak bareng sama lo ya gue mo jawab tapi keburu kepotong sama omongan lo," Bohong Bleeth.

"Ar-"

"Lo kangen Gue Bleeth baru aja pisah beberapa jam elaaaaahhh," Arsene langsung memotong omongan Bleeth.

"Gue dari tadi ngomong dipotong-potong terus perasaan," Bleeth merasa kesal.

"Sabar ya Bleeth," Aku menepuk bahu Bleeth.

"Apaan si lo nepuk-nepuk gak jelas," Bleeth mengkibaskan tangannya tepat dibahunya bak menghilangkan kotoran.

"Lo kok sensian amat si kek cewek pms aja," Aku tertawa disambung dengan tawaan yang lain.

"Gue cabut dulu ya," Aku melangkah meninggalkan taman.

"Gue ikut," seru Bleeth masih terdengar ditelingaku.

"Gue juga," sambung Arsene.

"Kalian tega mau ninggalin gue?" Seru Naresh.

'Tumben banget Narsh alay kek gitu' batinku.

Aku pun berjalan menuju kantin diikuti oleh Naresh dan teman-temannya. Dengan tiba-tiba Naresh mensejajarkan langkahnya dengan langkahku, Aku begitu grogi jantungku berdetak hebat.

Aku hanya bisa tersenyum kikuk, dalam batin Aku begitu senang tapi pikiranku melayang menuju kejadian waktu lalu. Ah! Aku tidak ingin itu terjadi lagi, Aku memilih untuk memelankan langkahku.

"Lo kenapa Dres? Pusing?" Ku rasa tidak seperti Naresh biasanya, Dia memperdulikanku?

"Eh eee enggak," cicit ku.

"Sebaiknya lo kebelakang dulu deh Narsh, ehh gimana ya bukannya gue ngusir tapi... ee itu," lagi-lagi mulutku tidak bisa diajak bekerjasama.

"Lo kenapa si Dres? Aneh banget," Naresh terlihat begitu kebingungan.

"Gue gamau punya masalah, gue gamau punya musuh atau dimusuhin, jadi-"

"Gue tau arah pembicararaan lo sekarang," potong Naresh.

"Kalo nyelesein masalah keluarga gausah ditengah jalan juga dong," timpal Arsene. Sontak Aku menepi menyandarkan tubuhku ke tembok padahal lorong sekolah ini begitu luas.

"Gue tegasin sama lo Dres, mulut rombeng Meuren itu gausah lo ladenin, cabe murah kek Dia itu sampah!" Naresh menekankan kata 'cabe murah' dengan emosi tersulut.

Aku dibuat kaget dengan ucapan Naresh, begitu kasar dan menyakitkan.

"Sorry bukan maksud gue ngebentak lo" sambung Naresh. Aku hanya mengangguk gugup.

"Lo kenapa begitu bencinya sama Meuren?" Tanya ku ingin tahu.

"Murah," jawab Naresh singkat.

"Apanya yang murah Narsh?" Aku mengernyit bingung dengan ucapan Naresh.

"Lo polos banget si Dresta," Arsene terlihat begitu geram.

"Lo bakal tahu dengan sendirinya." Naresh terlihat sangat frustasi.

Aku kembali berjalan menuju kantin dengan jantung yang berdetak hebat akibat hanya berjalan beriringan dengan Naresh dan kepala yang dipenuhi dengan satu kata 'murah' memang Naresh selalu saja membuatku bingung.

"Emang barang? Kok murah si." Gumamku.

Aku melihat ke sekeliling kantin yang sudah ramai, ku cari-cari sahabat karibku, sepertinya aku rindu ocehannya. Padahal, baru saja Aku meniinggalkannya selama 5 jam.

Aku menemukannya! Terlihat begitu mirisnya Dia, duduk dipojok, sendiri, wajahnya tertunduk dengan mengaduk-aduk minumannya tak berselera, sepertinya Dia tidak menyadari kehadiranku.

"Wa!!" Aku mengagetkannya dengan menggebrak meja tepat didepannya.

Byur!

"Ups! Sorry gue kaget banget! Lo si pakek ngagetin." Zefra mengusap-usap wajahku bak mengelap kaca jendela.

Aku terdiam mematung dengan mata terpejam, bajuku pun sekarang sudah basah karena samburan es teh dari mulut Zefra.

"Uhh lengket." Aku mengusap-usapkan wajahku ke lengan baju Zefra.

Aku memutuskan untuk bergegas ke toilet masa bodo dengan Naresh dan teman-temannya yang sekarang memanggilku sambil menjerit-jerit tak jelas.

Zefra menyusulku dengan membawakan baju ganti, entah dapat darimana yang terpenting aku cepat-cepat memakai baju itu karena Aku sudah sukar.

Bukannya Aku jijik atau bagaimana tapi aku memang dari dulu tidak suka yang lepek-lepek mengenai kulitku. Rasanya sangat tidak nyaman.

"Lo kenapa si Zeb, tadi kok ngelamun dipojokan gitu aneh banget," Aku keluar dari bilik toilet disusul dengan Zefra dibelakangku, Aku mensejajarkan langkahku.

"Zeb," Zefra tidak menanggapi pertanyaanku.

"Zebra," masih tidak ada jawaban.

"Zebra! Lo-"

"Eh iya Dres kenapa?" Potong Zefra.

Aku mengulang pertanyaanku yang belum sempat dijawab oleh Zefra.

"Gue rasa..." Zefra menggantung kalimat.

Aku masih menunggu kelanjutan dari kalimat yang diucapkan Zefra.

"Ck! Gue bingung," Zefra berdecak.

"Kenapa Zeb? Lo ada masalah? Kalo ada ceritain sama gue, jangan lo pendem sendiri," Aku menatap Zefra dengan lekat.

"Gue itu sebenernya."


To be continue.

Kritik & saran:)

(6 Mei 2020)

SepihakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang