7. this is all you need. only this much.

352 62 42
                                    

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

Entah, ia bahkan terkadang lupa cara bernapas. Aku tak tahu sudah berapa kali ia menangis untuk hari ini dan sudah seberapa banyak cakaran yang telah melayang di lengan sang perawat.

Hwasa seolah menutup dan melempar dirinya sendiri ke jurang terdalam di dasar bumi ini. Ia hanya diam, membuka mulutnya dengan patuh hanya untuk obat dan sesuap nasi, pandangannya kosong dan selalu lelah. Terkadang pandangan itu penuh amarah dan rasa emosi, hingga sang perawat setengah menyerah dengan sikapnya.

Tapi untuk siang hari ini, Hwasa memilih duduk di kelas melukis. Ia nampak begitu tenang sambil memegang kuas terkecil yang bisa ia temui di sana. Pandangannya tak berpaling dari kertas putih di belakang kelas yang kini telah diisi dengan warna orenji.

"Lukisanmu cantik," Sang perawat akhirnya membuka suara. Ia duduk di ujung kelas, membiarkan Hwasa memiliki ruang sendiri yang cukup namun tetap dalam pengawasan. "Aku tidak tahu kau bisa melukis. "

"Wheein," Suara lirih menyambut, intonasinya sedingin udara sore di musim gugur dan tanpa emosi. Hanya ada rasa rindu tersirat yang hanya dia dan sang gadis pemilik lesung pipi yang tahu. "Wheein yang membuatnya. "

"Kapan?"

"Aku lupa. Dia bilang warna favoritku kuning. Namun ia malah melukis dengan warna orenji. Bodoh, ya?" Hwasa tertawa lirih, hampir menangis. "Sebelumnya, aku tak tertarik dengan warna apapun. Bagiku hanya ada warna putih dan hitam. Mungkin abu-abu juga. Namun akhir-akhir ini aku merasa kalau bunga matahari menarik perhatianku. "

"Karena kuning?"

"Dan menghasilkan kuaci," Hwasa kembali tertawa, napasnya tercekat lalu menahan air matanya. "Juga karena ia bilang aku seperti bunga matahari. "

Sang perawat terdiam, diam-diam merutuki dirinya pada hari itu. Ia sebenarnya tahu kapan lukisan itu dibuat, saat hari sempurna untuk berlarian di taman. Tetapi sang pasien tiba-tiba ingin memasuki kelas melukis? Itu sebenarnya aneh. Dia bahkan telah bersiap sejak pagi untuk mengantisipasi adanya pertumpahan darah yang disebabkan oleh Hwasa.

Namun ia tak pernah siap untuk menghadapi gadis berwajah datar yang mendaftarkan dirinya sendiri untuk dirawat, duduk di kursinya dengan nyaman. Tertawa, bermain dengan kuas, dan sengaja mewarnai wajahnya dengan cat hingga sang perawat hampir terkena serangan jantung saat sadar catnya tak mudah untuk dibersihkan.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia merawat Hwasa selama dua tahun, si gadis tertawa dengan begitu kuat dan polos. Surainya bergerak kecil mengikuti hentakan kepala, lantunan melodi acak terdengar dan ia merasa seperti melihat gadis kesayangan Tuhan yang diberikan kebahagiaan secara cuma-cuma.

Dan itu semua hilang dalam hitungan detik. Jika disuruh memilih, ia lebih memilih Hwasa yang selalu datar dan tak tertarik dengan apapun di dunia daripada Hwasa yang selalu menangis karena merindukan Wheein yang sebenarnya tak pernah ada di dunia.

Diam-diam saat ia harus begadang untuk berjaga-jaga apabila Hwasa mencoba menyakiti dirinya saat tidur, lelaku itu berpikir bagaimana jika gadis bernama Wheein ini benar-benar ada dan merupakan temannya. Ah, itu terasa sangat indah dan momen yang sangat tepat untuk menghela napas penuh kelegaan.

Tapi dunia tak bekerja sebegitu indah.
Apalagi saat tengah malam di saat kepalanya pening bukan main karena berusaha menidurkan Hwasa yang menghabiskan hari untuk menjerit-jerit, ia dipanggil oleh Dokter Hong. Salah satu dokter senior yang dipercayai untuk merawat Hwasa.

"Ia terkena skizofrenia," Ucap sang dokter. Figurnya yang nampak lebih tua dari umur sebenarnya melepas kacamata, mengeluarkan lirih kelelahan lalu kembali melanjutkan. "Aku tidak tahu siapa itu Wheein dan Hwasa juga tak ingin memberitahu. Tapi sepertinya gadis Wheein ini adalah teman khayalannya."

sunflower | wheesa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang