6. upside down, mental breakdown.

336 65 29
                                    

Ini seperti mimpi.

Ia masih mengingat teriakan melengking orang-orang yang saling bersahutan, kekacauan, suara siren polisi dan gambaran mimpi buruk yang absolut. Hari baik dan langit cerah rupanya telah berubah menjadi mimpi buruk dan awan gelap yang menakutkan dalam sekejap.

Ia mengingat bagaimana cara lelaki berteriak kesakitan dan menutup sebelah matanya yang mengeluarkan begitu banyak darah, seperti air terjun berwarna merah. Ia menunduk, tubuhnya bergetar hebat.

Lalu dalam diam sesuatu lewat seperti mimpi, satu ingatan yang telah ia kubur di belakang kepalanya kembali muncul. Ia mengingat bagaimana lelaki itu menampar wajahnya, berteriak di telinganya begitu histeris, mengikat pergelangan tangannya hingga fajar dan mencakar punggungnya untuk memberi tanda kepemilikan. Hwasa adalah miliknya dan si gadis tak bisa menolak.

Namun luka itu telah sembuh, bekasnya hampir tak kasat mata. Namun ingatan itu akan hidup bersamanya. Mungkin akan muncul tiba-tiba saat Hwasa duduk di balkon rumahnya saat musim gugur saat ia menggendong cucu pertamanya. Ya, itu pun jika ada yang sudi untuk melamar dan menikahinya.

Hwasa kembali tertampar balik menuju realita saat sadar Wheein yang tadi hanya terdiam dan memegang garpu penuh darah itu kini diseret masuk ke dalam mobil dengan siren berisik itu.

"Apa yang akan terjadi?"

••••

Ini sudah dua hari dan Wheein belum kembali, rasanya bahkan dirinya sendiri belum kembali betul ke dalam raga. Walaupun setiap malam ia diberi segala macam obat, menghadiri terapi, atau bahkan diajak duduk-duduk santai di taman rumah sakit, ia masih tak bisa berhenti memikirkan tentang hal dua hari yang lalu.

Dan ia masih tak bisa memikirkan Wheein. Anak bodoh yang baru mengenalnya sepanjang dua minggu namun seperti mengenalnya selama dua dekade. Ia merasakan sensasi aneh di dalam dadanya saat mengingat bagaimana mudahnya Wheein mengayunkan tangan dan menusuk bola mata pria itu.

Ia seperti ... lega?

Beban di bahunya seperti diangkat lalu dihancurkan, lukanya seperti mulai kembali sembuh, rasanya seperti akhirnya ia memiliki satu alasan untuk tetap tinggal di bumi. Namun saat ia mengingat Wheein, jantungnya seakan berhenti berfungsi. Ia malah menemukan dirinya memikirkan bagaimana nasib gadis itu.

Ia bahkan tak muncul di rumah sakit, rasanya aneh sekali saat tak mendengar pekikan terlalu bahagia dari bibirnya atau ocehan tak penting tentang kenapa kita memiliki lima jari.

"Perawat," Panggil Hwasa dengan suara lirih. Ia terduduk di atas kasurnya, menatap si perawat yang sedang menyapu kamarnya. Pandangannya kabur, mungkin karena efek obat yang baru dipaksanya masuk ke tenggorokan sepuluh menit yang lalu. "Dimana Wheein?"

"Wheein?" Tanya perawat memastikan ucapan Hwasa dan ia mendapatkan suatu anggukan, sang perawat menahan napas lalu berkata dengan cepat, "Aku tidak tahu. "

Ah, jawaban yang sama lagi.

Hal terakhir yang Hwasa ingat adalah ia membaringkan dirinya di atas kasur yang terasa menusuk dingin, menatap ke arah dinding dan cahaya matahari yang membias dari arah jendela. Semua kabur dan tanpa disadari ia pun tertidur.

••••

"Hwasa?"

Bisikan yang terlampau familiar menyambut teling dan membuat wajahnya berkerut tak suka, berpikir manusia mana yang berani mengganggu tidurnya, apalagi bisikan itu terus berulang seperti radio rusak yang mengesalkan.

sunflower | wheesa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang