4. let's dive the ocean in the middle of the night.

338 64 23
                                    

Pukul satu dini hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul satu dini hari. Keadaan di luar sedang buruk. Hujan turun dengan emosi meledak-ledak dan ditemani dengan petir yang saling sambut. Hwasa terbangun, menatap jendelanya yang terhantam angin kencang lalu masuk dengan begitu angkuh.

Dengan langkah gontai dia bangun dari kasurnya, merasa sedikit pusing karena dia sempat diberi obat dan beberapa suntikan juga. Tapi akhirnya ia menutup jendela itu lalu menutupnya kembali dengan tirai dengan motif awan.

Namun saat ia hendak memejamkan matanya kembali, suara ketukan pintu yang lirih menyambut telinganya. Awalnya ia ingin menghiraukan dan menganggapnya sebagai khayalan semata. Tetapi saat lantunan suara yang sama lirihnya menyambut Hwasa, yang si gadis lakukan langsung terduduk tegap menatap sumber suara yang adalah pintu kayu kamarnya.

"Hwasa—aku mau tidur denganmu, boleh ya?"

Hwasa terdiam sejenak, "Wheein?"

"Hujannya lebat—oh, astaga!" Suara petir menyambar disertai kilat. "Aku takut. "

Mendengar betapa ketakutannya Wheein, Hwasa pun membuka pintu kamarnya dan menemui gadis dengan rambut teracak dan boneka kucing lusuh yang dipeluknya erat sekali.

Tanpa pikir panjang Wheein menerjang masuk ke dalam kamar si gadis yang setengah sadar dan setengah kesal, melompat ke atas kasur lalu menatap Hwasa dengan iris yang masih berkaca-kaca.

"Hwasa tidak tidur lagi?"

"Dimana perawatmu?"

Wheein mengerutkan bibir, merasa kesal pertanyaannya dihiraukan, "Katanya mau rapat begitu sama pimpinan. Aku sudah minum obat tidur tapi sepertinya kurang banyak, deh."

"Jadi kau terbangun lalu ketakutan mendengar petir?" Tanya Hwasa dan membuat Wheein mengangguk cepat.

Hwasa menghela napas panjang, melangkah menuju kasurnya yang telah diisi oleh Wheein yang terkekeh entah kenapa, "Kau menyusahkan sekali. Kau tahu, tidak?"

"Tahu. Makanya aku dibuang Ayah. "

Hwasa menatap Wheein, heran karena bahkan manik itu tak menggambarkan amarah pada seorang yang telah membuatnya rusak. Ia hanya menemukan pancaran kepolosan absolut yang membuat Hwasa bahkan tak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Kau masih memanggil seseorang yang membuat kau berada di sini sebagai Ayahmu?"

"Yang membawaku ke sini bukan Ayah, tapi polisi dan dokter. "

"Bodoh sekali, sih. " Cibir Hwasa namun malah membuat Wheein tertawa. Padahal si gadis tahu ucapan yang dilontarkan bukan sebuah lelucon recehan yang mampu membuatmu tertawa terbahak-bahak.

"Kalau Hwasa siapa yang membawa ke sini?" Tanya Wheein dan membuat Hwasa sedikit terkejut. Tumben dia terdengar waras.

"Aku sendiri yang mau ke sini. "

"Woah, Hwasa punya mobil putih yang ada lagunya itu, ya? Yang bunyinya ninuninuninuu. Pasti asyik sekali, lain kali ajak Wheein naik itu, dong!"

"Bukan begitu, bodoh." Ucap Hwasa kesal. Dia ini gila atau bodoh, sih? Dan kenapa setiap Hwasa memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya, malah selalu membuat tensi naik.

"Alasannya apa?"

"Kau tak perlu tahu. "

Wheein kembali mengerutkan bibirnya, melihat Hwasa yang langsung menutup mata untuk pura-pura tertidur, "Kata Perawat Shim, setiap orang punya alasan untuk dirawat di sini. 'Kan kata dokter, aku itu telah dicuci otaknya lalu dijadikan budak seks untuk Ayah dan teman-temannya. Aku sebenarnya tidak mengerti. Otakku dicuci pakai merk detergen apa, sih?"

"Astaga Wheein. Rasanya ingin menangis saat mendengar kata-katamu. " Cibir Hwasa. Namun diam-diam ia terkejut karena tebakannya ternyata benar. Wheein itu telah dicuci otaknya hingga rusak.

"Terus Hwasa kenapa tinggal di sini? Karena makanannya enak, ya? Atau karena ada yang menyakiti Hwasa?" Tanya Wheein dan diam-diam membuat Hwasa membeku sesaat.

"Hwasa kenapa diam?" Entah kenapa Wheein tiba-tiba saat perasa. "Kalau betul begitu. Hwasa cerita, dong. Jangan diam terus galak-galak seperti singa, Wheein takut. Nanti kalau ada yang menyakiti Hwasa—lari saja ke Wheein, nanti Wheein serang pake jurus kamehameha sama aroma ketiak Wheein kalau belum mandi tiga hari. "

Ocehan Wheein terhenti, maniknya menubruk presensi Hwasa yang ternyata telah menutup mata dan menyambut mimpi dengan diam-diam.

"Huuu, Wheein udah capek ngomong dia malah tidur," Wheein tersontak kaget saat petir kembali menyambar dengan tak sopan. Tangannya pelan-pelan menyentuh pinggang Hwasa, mendekatkan tubuh pada pelukan dengan penuh hati-hati.

"Hwasa galak—Wheein izin peluk, ya. Jangan marah-marah seperti singa lagi. " Lalu kesunyian pun menutupi ruangan, petir kembali tenang walaupun hujan belum ingin pulang. Hwasa membuka matanya pelan, menemukan sosok Wheein yang telah tertidur dengan cepat.

"Aku masuk ke tempat ini, karena inilah satu-satunya alasan supaya pria itu tak mengejarku lagi lalu menghajarku hingga aku mati. Aku lelah hingga akhirnya memilih untuk tak waras. "

Tanpa seorang pun tahu, sebuah air mata jatuh begitu saja. Tak pernah diakui. Tak pernah diperdulikan.

•••

Langit kembali tenang. Walaupun masih berwarna gelap dan angin kembali bermain, menyelinap masuk dengan tak sopan lalu menyambut pori-pori kulit. Wheein telah terbangun dan terjaga. Menatap presensi Hwasa yang tengah tertidur pulas.

Dengan penuh kehati-hatian Wheein menggerakkan jemari menuju permukaan wajah Hwasa. Mengelusnya pelan sekali seperti sebuah porselin mahal.

"Hwasa walaupun galak, Wheein mau kok menjaga Hwasa dari pria jahat yang memukuli Hwasa. Jangan menangis lagi, ya ... "

To be continued...

sunflower | wheesa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang