1.9 Onism

17 2 0
                                    

Sudah hampir lima kali aku menggigit kuku jemariku. Gumpalan rasa was-was yang mengimpit paru-paruku terasa semakin berat dari waktu ke waktu. Lima belas menit Ari ditangani oleh dokter, tetapi tak ada tanda-tanda makhluk hidup yang akan membuka pintu kaca UGD itu. Sialan, batinku. Antara harus kukabari teman-teman atau tidak, sudah menjadi interlokusi dalam diri yang tak kunjung henti. Aku hanya tak ingin mereka syog dan tanpa berpikir ribuan kali, kemari tanpa menaati anjuran social-distancing.

Tidak. Aku tidak mau ambil risiko.

Kulihat mama berjalan cepat menuju arahku sambil membawa sekantung kresek yang entah isinya apa. Mungkin, beberapa makanan ringan untuk Ari nanti atau sengaja mama menghabiskan uang bulanan agar papa segera menggantinya dengan yang baru. Tentunya, dengan jumlah yang sedikit lebih banyak.

“Gimana?”

Alisnya menaik, manifestasi dari kalimat pertanyaan yang tak satu pun mampu menjawab. Mama langsung terdiam, seolah mengerti jawabannya melalui atmosfer tegang kali ini.

“Ada kenal keluarganya—”

“Nggak.” Aku menyela. Kemudian, menggeleng cepat. “Dia cuma punya kita.”

Tak mungkin aku harus menjelaskan rinci selak-beluk keluarga Ari. Tidak ada yang sanggup mendengarnya tanpa mendidihkan isi kepala selama satu pekan penuh. Terdengar hiperbola, tapi memang benar adanya. Sempat kuberi tawaran padanya untuk tinggal bersamaku saja, tetapi ia segan. Terlebih dirinya—dengan naif—rela mengorbankan masa mudanya hanya demi orang berengsek seperti pamannya itu.

Sialan, kubilang juga apa.

“Tapi kita harus hubungi keluarganya dulu, Sanra.” Mama menepuk pelan bahuku yang sudah merosot semenjak papa bertanya tentang keluarga Ari. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya gadis itu jika harus hidup dalam lingkaran ....

Aku mengumpat ribuan kali dalam hati.

“Jangan, Mama tidak mengerti,” ujarku pelan, berusaha menyampaikannya dengan sangat hati-hati, “dia hanya punya kita, tidak ada lagi keluarganya selain aku dan teman-teman.” Suaraku hampir gemetar. Tidak, aku tidak boleh menangis. Setidaknya, aku harus menyimpan air mata ini untuk nanti, setelah Ari sadar.

Baru saja papa hendak membuka mulut, suara decitan pintu membuat kami refleks mendekati pria berjas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. Raut ekspresinya datar, tetapi auranya tak membiru. Mungkin, dia hanya menjaga etika atau apa pun itu namanya. Aku tidak tahu, aku juga tidak berminat untuk tahu.

Ketika pria itu mengangguk, mama menghela napas lega. Kemudian, mereka masuk terlebih dahulu, disusul dengan aku dan Fadil. Aroma rumah sakit yang menghunus lapisan maskerku, akhirnya lolos dan mampu menerobos hingga paru-paru. Lantas pikiranku terdistraksi oleh pemandangan Ari yang menatapku tersenyum dengan wajah pucat. Jantungku refleks berhenti berdetak sesaat.

“Sudah baikan, Nak?” Papa memulai bicara. Beliau melempar senyum pada gadis yang mendadak tampak seperti Putri Salju. Bibirnya abu-abu dan tampak mengering. Anggukan kecil dari Ari membuat papa melebarkan senyumnya. “Syukurlah.”

Aku tetap mematung pada posisiku sebelumnya, lima langkah dari ranjang Ari, menatap kondisinya yang memprihatinkan. Tadinya kupikir, Ari tepapar virus COVID-19, tetapi melihat respons dokter yang mempersilakan kami masuk, rasanya ini mustahil.

“Maaf jadi merepotkan,” Ari menunduk, “maaf telah membuat kalian semua khawatir.”

Aku sadar dan tahu betul, kalimat itu sebenarnya ditujukan padaku. Sahabat sehidup-sematiku, kini berbaring di atas ranjang, terkulai pucat, tampak seperti mayat hidup. Siapa yang tidak khawatir? Bodoh.

Wajahku memerah bak tomat. Aku yakin Ari bisa melihatnya dari sana, terlebih sorot kedua mataku kini kupusatkan pada netranya. Lihat, untuk berkedip saja dia begitu lemah.

“Anemia, ya?”

Ari menjawabnya dengan kekehan. Apa-apaan, batinku. Anemia bukanlah hal yang menurutku sepele, itu bisa menjadi bahaya jika tidak dalam penanganan dan pengawasan yang tepat.

“Kebetulan mama bawakan beberapa makanan ringan buat Ari. Nanti dimakan, ya.“

Aku menoleh cepat ke arah mama, tersenyum kecil, dan sedikit merasa lega. Semoga tadi, mama sungguh-sungguh dalam perkataannya.

• • •

Sejujurnya, aku tidak tahu-menahu perihal sistem rumah sakit. Akan tetapi, melihat Ari dipindahkan ke kamar lain malah membuatku merasa was-was, entah mengapa.

Atmosfer yang menaungi kami hening, tidak ada yang hendak membuka mulutnya. Hanya ada aku dan Ari di sini, aku yang sibuk mengetik pesan di layar ponsel dan Ari yang sibuk menatap langit-langit. tak tahu sedang memikirkan apa. Kutekan tombol kirim pada fitur chat, yang kemudian ditanggapi dengan puluhan balon pop-up dengan respons berbeda-beda.

| Demian : Sharelock cepet, gue otw.
| Retha : DEMII APAAA, ARII? @ari ?!
| Retha : WOI, RII??? @ari
| Nelly : Ari nggak megang HP lah, bego 😭
| Difa : Kambuh lagi? @someone.
| Demian : SHARELOCK WOII @someone
| Fierra : GOSA NGEGAS NAPA, YANG PANIK BUKAN CUMA ELU BUJANK. @demian.
| Retha : INI KENAPA PADA NGEGAS ASTAGA PLIS TAU TEMPAT DAN KONDISI.
| Nelly : San, jangan ngilang kea mantan lu heh udah kea orgil ni gw di kamar. 😭 @someone.

Aku menghela napas pelan, jemariku pegal mengetik. Jika aku mengirim pesan suara, Ari tentu akan mendengarku. Dia pasti akan mencegah memberitahukan pada teman-teman, yang padahal sudah kulakukan semenjak sepuluh menit yang lalu.

Getaran pada ponselku membuat aku refleks tersentak hebat. Panggilan suara dari orang paling menyebalkan, tidak tahu kondisi, dan sangat tidak sabar.

Demian.

• • •

Ⅿ Stories, XIV Days❞

﹂❝Ⅿ Stories, XIV Days❞﹁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hai, monmaap ngaret berapa bulan sudah ya ini? :')
Ada yang masih baca nggak, ya? Wkwkwkwk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang