1.3 Nazlanmak

80 24 11
                                    

“Ada apa, Ri?”

Napasnya masih tersengal-sengal. Tanpa membuka mulut, ia menerobos perbatasan antara kamarku dan koridor. Kepalanya menoleh ke sana-ke mari dengan raut wajah kusut. Bulir keringat bercucuran deras pada dahi dan lehernya. Bahkan, sergahanku pun tak diindahkannya. Sebenarnya ada apa dengan Ari?

“Nah, ketemu!”

Setelah membombardir seisi kamarku, khususnya tumpukan buku tebal yang ia berikan padaku, gadis itu tersenyum lebar. Tampak gigi putihnya berderet dan dua kawah kecil pada pipinya. Gadis itu mengangkat sebuah kertas origami hijau yang lusuh dengan penuh kemenangan. Teriakan girang pun lolos dari bibirnya. Lantas, ia mengambil langkah lebar dan menuju ke arahku.

“Hehe, maaf mengacaukan kamarmu. Aku benar-benar-benar-benar amat sangat sibuk sekali. Terima kasih karena tidak membuang harta karun ini.” Ari menangkupkan kedua tangannya di depan dada, terus memohon padaku dengan kalimat-kalimat pleonasmenya. Astaga, kupikir hiperbola saja tidak cukup untuk menggambarkan suasana kamarku yang sangat bongkar-bangkir ini.

“Besok aku ke sini lagi, deh, bantuin kamu sama—”

“Nggak usah. Udah sana, ntar telat, loh.” Kedua tanganku mendorong tubuhnya ke luar kamar. Gaya gesek yang timbul antara kakinya dan lantai menimbulkan suara decitan yang bising.

“Baru kali ini aku diusir, sialan kau.”

Aku menaikkan satu alisku tanpa memudarkan garis lengkung pada bibirku. “Kau barusan mengumpat?”

Ari menggigit bibir bawahnya. Matanya mengerling. Kemudian, ia menepuk bahuku, lantas melenggang dari hadapanku. Langkahnya dipercepat, seolah takut bilamana arwahku terbang untuk mengejarnya. Aku terkekeh, lalu memutuskan untuk melanjutkan aktivitasku yang tertunda.

Cause you're my flashlight.

Senandung melodi tiba-tiba menyeruak dari tenggorokanku. Mendadak kaset memoarku berputar dalam otak, menampilkan adegan di mana aku menonton acara acapella untuk yang terakhir kalinya.

Maksudku, sinema acapella.

Tok ... tok!

Kepalaku yang sedari tadi terpaku pada tambunan buku-buku tebal dari Ari, kini berpaling ke arah pintu. Seorang lelaki dengan bercak putih pada dagunya memutar kenop pintu itu, lantas melangkah masuk tanpa memudarkan lengkung pada bibirnya. Ia menggoyang-goyangkan sebuah kantong plastik transparan pada tangan kirinya. Benda warna-warni yang mencolok tertangkap basah oleh kedua mataku.

Is it a coffee flavor?

Lelaki itu mengangguk. Kemudian langkahnya menari-nari menuju tangga, menimbulkan suara dentuman yang tak seirama. Daya magnet yang ia timbulkan cukup membuat rasa antusiasku mengangkasa. Demi es krim rasa kopi, aku bahkan siap mengelilingi semesta dalam tujuh kali putaran—seperti orang tawaf.

“Fadil, cuci tangan dan kaki dulu!”

Suara legendaris itu sukses membuat adik kecilku berhenti melangkahkan kakinya. Kemudian, ia berbalik dan menaruh kantong plastik itu di atas meja. Kedua mata kami saling bertatapan—sangat tajam.

“Jangan ambil punyaku.”

Tanpa ingin menimbulkan kesan curiga, aku mengangguk—hanya agar ia merasa bahwa aku mengiyakan permintaannya. Padahal? Angguk tidak geleng iya. Aku tertawa dalam hati. Betapa mudahnya mengelabuhi adikku yang satu ini?

Suara iklan pada televisi menarik kepalaku untuk berpaling dari tumpukan es krim yang sudah tertata rapi. Lagunya begitu aneh, pikirku. “Tapi menarik.”

Srek!

Aroma kopi menggelitik sinusku, seperti biasa. Tenggorokanku sudah mati kering sedari tadi. Tanpa mengacuhkan dua gigi depanku yang sensitif, aku tetap menggigit camilan dingin itu. Sebuah desisan tak membuatku jera. Kulanjutkan lagi dengan menggigit bagian lain, lantas mata kiriku terpejam dengan sendirinya. Aliran listrik ribuan volt menjalar pada kepalaku. Astaga, sensasinya benar-benar adiktif.

Seperti yang telah kita ketahui terkait dengan fenomena pandemik yang baru-baru ini terjadi ....”

Pandemik. Sebuah kata yang membuat milyaran manusia mau tak mau harus melakukan social distancing. Majelis pendidikan dipasifkan, kami harus belajar secara mandiri dan mengerjakan rentetan tugas di rumah. Setelah ribuan berita yang telah kudengarkan, topik apa lagi yang akan dibawa oleh sang pembawa acara?

Sebuah headline, lantas dunia fantasiku runyam seketika.

***

Wkwk lama ga update:vBtw, makasih udah baca(≧∇≦)b❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wkwk lama ga update:v
Btw, makasih udah baca(≧∇≦)b❤

Salam hangat,
Sanra.

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang