1.2 Hobbledehoy

107 26 20
                                    

Bejajar-jajar makhluk bumi yang kian memadati jalanan kota tiada lagi tampak. Ramainya suasana pasar yang kumuh tiada lagi masif bersama terik mentari. Bagai menjalani hidup dalam lingkaran taksa, menanti amarah sang lokawigna meredam. Majelis pendidikan dan agama yang mendadak surut grafik pengunjungnya seolah menjadikan bumi terhasut oleh sebuah tipuan. Siapa lagi jika bukan karena virus sialan yang melanda bumi beberapa hari yang lalu?

Sebuah headline yang masih saja kutatap nanar itu enggan beralih. Ayolah, masih ada jutaan topik yang dapat diangkat dalam siaran itu. Sampai akhirnya sesuatu yang kasatmata menghantam kepalaku, menyerakkan beberapa kalimat tabu.

“San!”

Seruan itu menimbulkan reaksi kejut yang dahsyat padaku, sedangkan Ari hanya terkekeh. “Ada apa sampai kamu harus mematung di depan pintu dapur?”

Aku menggigit bibir bawahku. Sambil sesekali menenggak ludah, aku berusaha mengontrol emosiku. “Em, tidak apa-apa.”

Ari yang seolah paham maksudku langsung mendorong bahuku menuju ruang tamu, semakin mendekat pada televisi yang padahal ingin kuhindari. “Ayolah, San. Semua akan baik-baik saja,” ujarnya, lantas mengganti saluran menjadi sinema kartun kesukaan kami, robot kucing dan kantong ajaibnya. Senandung pembuka membuat kepalaku menoleh. Suka tidak suka, animasi itu menarik perhatianku untuk dilihat.

“Hmm, jadi itu bukan sekadar hoaks, ya?” Ari terlebih dahulu berbicara. Gadis itu mengira bahwa berita mengenai munculnya pandemik ini sekadar desas-desus semata. Padahal lidahku sampai keriting dibuatnya hanya untuk menjelaskan suatu perkara berat ini. Ayolah, aku bukan siswi ilmiah, yang tahu-menahu interaksi antara makhluk super mini itu dengan manusia.

Aku menggeleng pelan tanpa menghilangkan tatapan tajamku padanya. Dalam hati, aku mencibir. Sudah sedari dulu aku katakan, kau masih saja tak membenarkan. Aku mendengus. “Kau tidak mau pulang?” Sepersekian detik kemudian, dia menoleh, melayangkan ekspresi penuh tanda tanya.

“Kau juga harus ikut melaksanakan social-distancing, Ri.” Aku kembali membuka mulut. Menatap Ari yang tampak gelisah itu, tanganku mengetuk-ngetuk gelang kayu pada pergelangan kiriku. “Ari?” Gadis yang mengarahkan pandangannya ke bawah itu tetap bergeming.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mama dan aroma masakan mendekati kami, menginterupsi dua insan yang beradu menggunakan bahasa hati. “Ayo dimakan! Mama mau jemput Fadil dulu.”

Aku tersenyum kecil, lalu berdiri. “Pakai masker, Ma.” Tanganku menyerahkan dua buah kain biru pada mama. “Kalian jaga rumah dulu, ya.”

Kami mengangguk. Pandangan kami kembali tertuju pada televisi yang sedari tadi diabaikan, setelah raga mama ditelan daun pintu. Tak ada lagi suara yang muncul selain lagu lama sebuah iklan di televisi. Bahkan, Ari belum menjawabku.

“Iya, mulai besok aku nggak keluar-keluar lagi.”

Kepalaku menoleh pada Ari, yang tengah tersenyum menatapku. Dalam hatiku, aku hanya bisa berharap agar Ari benar-benar mengindahkan adanya imbauan tersebut. Aku tahu, baginya hal ini sangat berat. Apalagi jiwa seorang penjelajah sudah meresap dalam dirinya. Tak sekali pun ia lewatkan hari tanpa mencium asap kendaraan. Baginya, menjelajah kota atau desa terpencil adalah bagian dari hidupnya.

Kemudian, Ari membetulkan gemal rambutnya. “Buku-buku itu simpan saja dulu. Kalau kamu sudah selesai, kabari aku. Nanti biar Pak Sodiq yang ambil barangnya.”

Melihatnya berdiri seraya merogoh saku, aku mengangguk. Suara kerincing ditimbulkan oleh benda mungil dengan satu gantungan dreamcather ungu. Syukurlah, Ari masih menjaga benda pemberianku bulan lalu dengan baik.

“Aku pulang sekarang, ya.” Langkah Ari terhenti setelah tanganku mencekal sweter kuning telurnya. “Nggak nunggu mama pulang aja? Lagian kentang gorengnya belum kamu habiskan.”

Ari menggeleng. “Maaf San, aku masih harus bantu bunda beres-beres, nih. Sebenernya tadi cuma mau antar buku-buku itu aja. Ari cuma dikasih izin sebentar.”

Kalimat penolakan yang halus dan mulus. Begitu pikirku. Akan tetapi, aku tetap mengulum senyum, lalu mengangguk. “Ok, hati-hati. Butuh masker?”

“Nggak usah, aku cepet, kok.”

Spontan, jariku mengetis dahinya. Dengan tiga lipatan pada dahiku, harusnya itu menjadi afirmasi baginya. “Gak usah aneh-aneh. Aku ambilin satu.”

Aku bergegas mengambil sebuah kotak masker yang terbengkalai di atas lemari pendingin. Butiran-butiran debu halus yang hinggap di atasnya bersebaran setelah kutiup kencang. Kuambil satu helai untuk Ari, lalu mengibasnya pelan.

“Terima kasih,” ujarnya setelah tali masker pemberianku ia bubuhkan pada kedua telinganya.

Tanganku melambai, begitu pula Ari. Gadis tomboi itu menyalakan mesin vespa hitamnya. Setelah itu, ia menekan klakson, pertanda ucapan “sampai jumpa lagi” yang ku-aamiin-kan dalam benak.

Setelah dirinya dan vespa hitam itu ditelan oleh pertigaan jalan, aku berjalan menuju ruang tamu. Sepiring kentang goreng itu kubawa menuju kamar, setelah benda kotak itu kumatikan dayanya. Sambil membaca sebuah buku berjudul Filosofi Teras, aku menjejalkan tujuh kentang goreng sekaligus dalam mulutku.

Ting!

Aku berdecak. Bunyi notifikasi itu membuyarkan konsentrasi membacaku. Padahal baru beberapa menit otakku menari-nari dalam euforia kutu buku. Tanganku akhirnya bergerak mengambil ponsel yang tak jauh dariku, menekan tombol hijau, lalu membaca rentetan pesan yang membuat kepalaku terasa ingin meledak seketika.

| Nelly : Ada tugas baru cuy, dari Bu Wati : Mengerjakan buku IPA prediksi 1-3.
| Difa : Tugas matematika juga nambah, ada dua paket. 
| Demian : Lah, resensi aja belum kelar, tugasnya udah selangit lagi
| Retha : Bahasa Inggris juga ada tugas, hm.
| Demian : Lah anjir, seriusan?
| Difa : @someone San, Demi denda 10k!
| Nelly : mmpus. @Demian.
| Demian : Kok jadi aku sih bangAstaghfirullah.
| Fierra : sok-sokan nyebut, pencitraan @Demian.

Belum sempat jemariku membalas pesan mereka, suara ketukan pintu membuatku mau tak mau harus menghampiri sumber suara. Aku tersentak kaget setelah mendapati seseorang yang berdiri dengan napas tersengal-sengal di depan pintuku. Wajahnya bagai bulan kesiangan, pucat sekali, membuatku bertanya-tanya sekaligus heran.

“Ada apa, Ri?”

◈◈◈

Hay, aku update lagi, hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hay, aku update lagi, hehe.
Krisar terbuka lebar, loh! Wkwk. ❤
Terima kasih sudah membaca

Love,
Sanra.

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang