1.8 Hodophile

18 4 10
                                    

Baru-baru ini, duniaku gempar karena sebuah aksi massal yang cukup mendidihkan aliran darah dalam tubuhku. Atas nama kebebasan, mereka seenaknya saja bertingkah egois. Bertendesi untuk mencari sensasi, dasar makhluk milenial.

"Tunggu aja tanggal mainnya." Papa berdecak. Kemudian, ia menyeruput segelas teh yang sedari tadi didiamkan, mungkin agar suhunya turun terlebih dahulu.

Mama ikut mencibir, "Tahu gitu ngapain mereka susah-susah jaga rumah sakit, kalau ternyata pasien di sana rata-rata hasil dari kebodoamatan mereka sendiri?"

Aku yang sedari tadi asyik memainkan jari lentikku di atas keyboard laptop akhirnya memilih untuk diam sejenak. Barangkali aku dapat ide dari percakapan mereka. Cukup menarik untuk disiratkan dalam cerita yang sedang kubuat.

Oh, iya. Aku sendiri yang mengetik ini. Siapa tahu rangkaian alur sederhana ini menyadarkan mereka tentang pentingnya social distancing dan menjaga diri di rumah saja. Memang monoton, pastinya. Tanpa adanya kontak fisik dengan kerabat, saudara, teman, pun tetangga. Akan tetapi, bayangkan saja para tenaga medis yang sedang berjuang mati-matian di luar sana.

Hey, tidak hanya kalian yang terobsesi untuk memeluk kembali hangatnya mentari dan bangku sekolah, atau mungkin dengan bau asap kendaraan dan padatnya hiruk-pikuk jalanan kota. Mereka juga memiliki keluarga untuk dibangun. Egois memang perlu, tetapi tidak pada saat-saat seperti ini.

"Kalau masih bengal, kenapa tidak dipenjarakan saja mereka yang keluar rumah?" Mama kembali beropini. Kemudian, papa menaruh gelas tehnya yang sudah kosong. "Pendapat Mama memang nggak salah, tapi itu juga nggak benar. Coba bayangkan bagaimana kehidupan orang-orang yang tak berkecukupan, yang masih membutuhkan uang, mereka mau tak mau harus berkerja, 'kan?"

Aku akhirnya kembali menimbulkan suara bising dengan jemari lentikku. Semakin deras ide-ide untuk kutuangkan dalam sastra. Terkesan fiksi, walau sebenarnya kuambil dari kisah nyata.

Ting!

Suara notifikasi dari ponsel pintarku itu ternyata berasal dari Retha. Kusambar ponsel pintar itu, lantas kubuka isi pesan beruntun yang mungkin sudah mencapai puluhan. Salah satu kalimat darinya membuat kedua mataku membelalak lebar. Saat itu juga, muncul sebuah berita di televisi, yang ikut mengejutkan papa dan mama.

"Loh, itu gengnya Ari, kan?"

***

Firasatku rupanya benar. Berhari-hari gadis tomboi itu tak membalas pesanku. Rupanya, ia memang sedang sibuk berkelana di dunia luar, menaiki mesin kuda andalnya, dengan teman-teman geng untuk menghibur diri. Hodophile tingkat berat memang. Nama gengnya saja sudah "Hodophile Gang."

Kedua mataku memicing pada gadis dengan kucir ekor kuda, yang kini duduk sambil menunduk di atas sofa ruang tamuku. Papa yang membawa gadis itu ke sini. Jika ia pulang ke rumah, bisa hilang kepala dia dilepas oleh pamannya.

"Pertanyaanku belum dijawab," ujarku sedikit menekan, "kamu mau ke mana?"

Gadis itu menghela napas berat. Bahunya semakin merosot ke bawah. Aku tahu, dia memang bukan tipe gadis yang mudah menangis. Akan tetapi, depresi adalah masalah terberatnya. Gadis itu tak akan bisa mengendalikan diri, jika sudah dibungkam oleh emosi negatifnya.

"Pamanmu berulah lagi?"

Tak perlu dijawab pun, aku sudah tahu. Ia butuh melepaskan stress-nya. Oleh sebab itu, Ari pergi ke luar bersama pasukannya.

Gadis itu masih bergeming. Bibirnya seolah menyatu erat. Ari berkeringat banyak, padahal suhu ruangan terasa normal bagiku. Kemudian, bahunya bergetar. Tidak, ia tidak menangis. Lantas, ia mengeratkan kaitan kedua tangannya.

"Ri?"

Hampir dia menaikkan wajahnya untuk menatapku, raganya sudah tumbang terlebih dahulu.

***

Hai, udah update lagi, hehe. Krisar terbuka lebar:D

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang