1.5 Orphic

49 23 15
                                    

Heal the world
Make it a better place
For you and for me
And the entire human race

Acap kali kudengarkan senandung melodi favoritku itu menggunakan headphone. Sembari mengatur ritme jantungku, aku merenggangkan otot-ototku. Syukurlah aku bangun dan memilih lari pagi lebih awal sehingga mentari tak dapat mencubit ataupun membakar ubun-ubunku. Terakhir kali, aku kesiangan. Lantas dahiku terbakar hingga memerah. Maklum saja, organ pelapisku memang sensitif.

There are people dying
If you care enough for the living
Make it a better place
For you and for me

Setelah ritme jantungku kembali normal, aku kembali melangkahkan kakiku pelan. Sambil menyapu pandangan pada jalanan yang lengang layaknya kota mati, aku kembali bersenandung. Langkah demi langkah, jejak kakiku tetap membayang.

“Ish, Ari ke mana, sih?” Aku memprotes. Berkali-kali kutatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, tetapi Ari masih saja belum tampak batang hidungnya. Padahal, gaids itu yang mengajaknya lari pagi. Aku sudah menyelesaikan tiga kali putaran tanpanya dan kedua kakiku sudah mati rasa.

Kuputuskan untuk singgah sejenak pada sebuah kedai yang tak jauh dari lapangan. Tempatnya terbuka, seperti kafe yang menyediakan kursi minimalis dengan dekorasi sederhana dan menawan. Warna keseluruhannya selaras dengan sweter biru lautku.

“Eh, Nak Lysa?”

Aku tersenyum. Tak heran jika beliau memanggilku Lysa, toh hanya teman-temanku yang ingin menamaiku Sanra. Kulepaskan headphone yang sedari tadi menutupi kedua daun telingaku.

“Apa kabar, Bi?”

Bi Ayu, sang pemilik kedai, lantas terkekeh sambil menyeret sebuah kursi untukku. Beliau menyerbeti kedua tangannya pada kain kotor yang digantung pada pinggangnya, membuat bercak noda semakin tampak jelas.

“Bi Ayu, mah, alhamdulillah baik. Lysa sendiri?”

Aku menahan tawaku, berusaha tak meledak di saat yang belum tepat. “Lysa masih sendiri, Bi,” jawabku meracau. Aku tahu bahwa maksud Bi Ayu sebenarnya adalah menanyakan kabarku. Untung saja Bi Ayu memahamiku. Lantas, kami berdua tertawa lepas.

“Waduh, anak sekarang, ya.”

Bi Ayu menggeleng-gelengkan kepalanya, sedangkan aku terkekeh. Kuhirup oksigen lebih banyak agar jantungku tak terlalu berdebar kencang setelah tertawa.

“Bi buatkan waffle, ya?” Bi Ayu menawarkan. Oh, ayolah. Tidak ada satupun warga di kota ini yang membenci makanan khas itu. Memang, makanan ini tampak seperti waffle yang ada di luar sana. Akan tetapi, percayalah, buatan Bi Ayu lebih lezat dibanding yang lain.

Aku mengacungkan jempolku. Barangkali ini adalah waffle terakhir yang kumakan sebelum pandemi semakin merajalela. Bi Ayu pasti tidak akan selalu buka kedai di saat seperti ini. Lihat saja kondisi kedai dengan beberapa meja dan kursi yang telah tertumpuk, disusun rapi. Bi Ayu pasti sudah mempersiapkan diri untuk tutup lebih awal.

Hampir saja aku tersedak air liur, ketika ponselku bergetar dan menampakkan nama yang hampir saja kumasukkan dalam black list. Aku menyangga daguku dengan tangan kanan, sambil menatap ponselku yang tak henti-hentinya menampilkan namanya. Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai sebuah tepukan pada bahuku membuyarkan euforiaku.

“Kenapa nggak diangkat, sih?”

Dengan wajah tak berdosa, aku menaikkan kedua bahuku. Bola mataku memutar malas. Kualihkan pandanganku pada Bi Ayu yang sibuk membalik adonan waffle, tak menghiraukan kicauan orang yang kini mengambil duduk di depanku.

“Oh, Sanra ngambek ceritanya?”

Aku menghunus kedua netranya dengan tatapan tajamku. Sebenarnya makhluk apa yang sedang berada di depanku sekarang? Alien?

Please, San. I know it's my fault, I'm sorry.”

Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Untung saja ia tidak kembali memohon menggunakan kalimat pleonasme, terlebih dalam bahasa Inggris. Astaga, bagaimana kira-kira reaksi Bu Tuti—guru Bahasa Inggris—ketika mendengarkannya membeo dengan tata bahasa seperti itu?

Jangankan Bu Tuti, kepalaku serasa dihantam oleh palu setelah mendengarnya.

Daijōbudesu. Anata no shazai wa ukeire raremashita.”

Dalam hati, aku tertawa. Terlebih setelah melihat ekspresi bingungnya, aku tak bisa menahan tawaku lagi. Telapak tanganku memukul-mukul meja kayu di depanku pelan.

What the hell are you talking about?

Aku mengambil napas, sebelum akhirnya berhenti tertawa. “I'm so sorry, mulutmu jadi ternodai karena ulahku.”

Dia berdecak. “F—”

Finally, kamu datang.” Aku menyela, setelah menyadari bahwa ia akan mengumpat untuk kesekian kalinya. Untung saja reaksiku lebih cepat. “Jadi ....” Kedua jemariku saling mengait di atas meja. Kutarik dua sudut bibirku, sekaligus menampakkan aura hitam yang terpancar di kedua mataku.

“Kenapa kamu terlambat, Ari?”

◈◈◈

Thanks for reading!

Love u                                          ❤(ӦvӦ。)

San.

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang