1.6 Zemblanity

31 18 8
                                    

Ari mengistirahatkan bibirnya sejenak, setelah mencoba untuk menceritakan beragam skenario perjalanannya. Kerongkongannya pasti terasa gerah, apalagi ia berbicara tanpa henti. Aku tahu maksudnya baik, tapi kurasa seluruh ceritanya terdengar paradoks.

Sambil memasukkan sepotong waffle dalam mulutku, aku berusaha mencari celah. Ari berbohong. Itu adalah garis besar dari prasangkaku yang tak kunjung menemukan garis lurus sebagai jalan tengahnya. Sneakers Ari terlihat bersih. Mustahil ia kemari dengan berjalan kaki tanpa mengotori sepatu putihnya itu. Jalanan taman

Wanker gang lagi?”

Tanpa diharapkan, Ari menyemburkan cairan yang menggembungkan pipinya. Pupilnya sukses membulat. Padahal aku hanya menyebutkan tiga kata, reaksinya benar-benar tak terduga. Syukurlah, akhirnya aku dapat menemukan celah kali ini.

“K-kok jadi bahas itu?” ujar Ari tersendat-sendat. Itulah mengapa ia mengajakku lari pagi. Rupa-rupanya perjanjian kami dijadikan sebagai pelarian.

Tak percaya?

“Ada bekas rokok, tuh, di bahu kamu.”

Dengan cepat, ia menoleh. Air mukanya mengeras. Wajahnya mulai pucat. Ari menelan ludahnya, lantas menunduk. Ia memainkan potongan waffle pada piringnya. Sesekali ia goreskan selai cokelat pada piring, lantas ia ukir secara abstrak.

Aku menghela napas. “Ri, kan aku udah bilang, social distancing.” Lidahku kembali bergelut dengan kudapan manis itu. Setidaknya agar emosiku sedikit reda. “Mereka itu anak jalanan, Ri. Coba bayangin kalau ternyata mereka terpapar virus itu dan ....”

Bibirku mendadak kelu. Kuputuskan untuk mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin, lalu membuangnya perlahan. Aku bahkan tak tahu harus mengekspresikan emosiku dengan apa.

“Dan?” Ari menatapku lurus. Tak ada lagi raut wajah tertangkap basah. Kerutan pada dahinya pun lenyap. Ia hanya memasang ekspresi datar dan jantungku berdetak kencang, entah mengapa.

Aku berusaha keras menepis segala prasangka buruk. Ayolah, ada apa denganku?

“Dan waffle-ku sudah habis.” Kalimat itu tiba-tiba saja melesat dari bibirku. Lantas, aku beranjak menghampiri Bi Ayu, meninggalkan Ari yang masih menatapku lurus. Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana bisa Ari merasa nyaman berada dalam lingkungan berasap itu?

Mungkin baginya, Wanker Gang adalah keluarga keduanya. Namun bagiku, Ari adalah segalanya.

❖❖❖

It's not actually a miracle, it's a science!

Bersamaan dengan suara pria paruh baya yang melengking dari ponselku, bolpoinku memukul-mukul permukaan meja. Mungkin benda itu sedang frustasi, seperti pemiliknya saat ini. Sudah puluhan paragraf kutulis dengan hati-hati, berekspektasi bahwa catatan berserjarah ini akan tertata rapi. Namun, yang kulihat saat ini hanyalah coretan abstrak dengan sebuah gambar untuk memvisualisasikan bentuk sistem saraf. Terlihat warna-warni, memang. Akan tetapi, siapa yang betah membaca tulisan ini?

“Sial,” umpatku.

Pria itu terus-menerus berbicara, seolah tak peduli denganku yang sibuk menenangkan diri. Kutekan tombol dua garis putih pada layar, membuat pria itu berhenti berbicara sekaligus bergeming. Siaran edukasi ini memang bermanfaat, tetapi aku tidak bisa menulis dengan cepat.

Kututup buku bersampul batik biru itu. Sudahlah, berharap saja apa yang pria itu katakan tersangkut dalam memori. Lagipula, aku hanya ingin fokus dengan aksennya, bukan semata-mata ingin mendalami materi sains—yang sekarang sudah tidak akrab denganku. Kami tidak bermusuhan, hanya mengambil jeda. Kurasa otakku perlu hal-hal yang baru. Berlatih aksen bahasa Inggris, contohnya.

Hola!”

Hampir saja tulang ekorku mencium kerasnya permukaan lantai. Suara yang berat itu mengejutkanku. Lagi-lagi, mengapa harus jantungku yang menjadi korban?

“Papa, ketuk pintu dulu!”

❖❖❖

Dikit banget, ya? Wkwwk.
Soalnya kenapa ya, ini tuh bukan novel, tapi novelet. Jadi, aku bikin per part nggak terlalu panjang alias kisaran 400-700 kata aja.

Btw, makasih buat yang masih baca♡

Love,
San.

1000 Stories in 14 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang